JAKARTA, KOMPAS.com - Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo berpendapat, seharusnya kebijakan pemerintah saat ini lebih berpihak pada tenaga kesehatan.
Menurut Imam, dalam membuat kebijakan, pemerintah perlu berempati pada kondisi yang tengah dihadapi tenaga kesehatan. Jangan sampai, di tengah penanganan Covid-19, pemerintah justru membuat kebijakan yang tidak berpihak.
"Empati itu kan suatu sikap di mana kita memikirkan bagaimana jika kita berada di posisi orang lain. Hari ini pemegang kebijakan harus punya sikap surplus empati pada para nakes yang sedang berjuang. Nah, kebijakan-kebijakan memotong (insentif) itu indikasi adanya defisit empati," ujar Imam, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/2/2021).
Baca juga: Tolong, Jangan Dikurangi Insentif Mereka...
Imam mengatakan, para tenaga kesehatan saat ini ibarat sedang berada di medan perang. Jadi, pemerintah harus terus memiliki kebijakan yang pro terhadap mereka.
Jika tidak, para tenaga kesehatan layaknya berperang tanpa senjata yang memadai.
"Menjadi tidak adil (insentif dipotong) pada orang yang berjuang siang dan malam, jadi ibarat tentara ikut perang tapi kelengkapan tidak memadahi," katanya.
Diberitakan sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan untuk mengurangi besaran nilai insentif yang direrima tenaga kesehatan pada 2021.
Keputusan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan nomir : S-65/MK.02/2021 yang diteken pada 1 Februari 2021.
Baca juga: Pimpinan DPR: Disayangkan bila Insentif Nakes Turun
Dalam SK tersebut diketahui rincian besaran nilai insentif bagi dokter spesialis adalah Rp 7,5 juta, doktee peserta Program Pendidikan dan Dokter Spesialis (PPDS) Rp 6,25 juta.
Dokter umum dan gigi Rp 5 Juta, bidan dan perawat Rp 3,75 jua, tenaga kesehatan lainnya sebesar Rp 2,4 juta dan santunan kemarian pernorang sebesar Rp 300 juta.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.