JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar menegaskan, kegiatan pemerintahan tidak akan terganggu meski tidak ada kepala daerah definitif.
Ia merespons pertanyaan tentang terganggu tidaknya pemerintahan jika ada kepala daerah yang masa jabatannya habis di tahun 2022 atau 2023. Sedangkan, pilkada berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 baru akan dilaksanakan tahun 2024.
"Pelayanan masyarakat tak ada yang berkurang bahkan bisa dikontrol masyarakat," kata Bahtiar kepada Kompas.com, Rabu (3/2/2021).
Baca juga: Polemik Revisi UU Pemilu, Ambisi Parpol atau Kepentingan Rakyat?
Bahtiar menjelaskan, kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 atau 2023 akan digantikan dengan penanggung jawab kepala daerah.
Menurut dia, kewenangan penanggung jawab kepala daerah sama dengan kepala daerah definitif.
"Dan hal tersebut sudah diatasi dan diatur dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Dan dengan diisi PJKDH penyelenggaran pemerintahan akan tetap normal," ujar dia.
DPR kini tengah melakukan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca juga: KPU: Sangat Berat apabila Pilkada Serentak Digelar 2024
Revisi tersebut belum rampung karena masih ada fraksi yang menolak beberapa isu dalam pembahasan RUU Pemilu.
Adapun wacana pro dan kontra di kalangan partai politik soal revisi UU Pemilu terkait dengan beberapa hal. Salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah pengembalian jadwal pilkada.
Sebagian fraksi mendukung pilkada lebih baik diadakan serentak pada November 2024, yang artinya sesuai dengan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 tahun 2016.
Di sisi lain, beberapa fraksi menginginkan pelaksanaan pilkada diubah, sesuai ketentuan dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 ayat (2) dan (3), yakni pada 2022 dan 2023.
Baca juga: Beda Sikap Jokowi terhadap Pilkada 2020 dan 2022-2023
Isu lain yang diperdebatkan dalam RUU Pemilu adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Berbagai fraksi partai politik saling beradu argumen untuk menetapkan angka ambang batas parlemen tetap pada angka 4 persen, atau naik di angka 5 persen hingga 7 persen.
Begitu juga dengan ambang batas presiden. Fraksi di DPR belum sepakat untuk menurunkan ambang batas atau tetap dengan ketentuan saat ini.
Besaran ambang batas bagi partai politik untuk mencalonkan presiden-wakil presiden yakni 20 persen dari jumlah kursi di parlemen atau 25 persen dari jumlah suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.