JAKARTA, KOMPAS.com - Belasan organisasi masyarakat sipil dan individu menyerukan masyarakat Asia Tenggara untuk mendesak militer Myanmar memulihkan internet dan demokrasi di negara dengan julukan seribu pagoda itu.
Desakan ini keluar seiring terjadinya kudeta militer dengan mengambil alih pemerintahan dan menahan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh kritis lainnya.
"Kami, organisasi masyarakat sipil dan individu yang bertandatangan di bawah ini, mengajak masyarakat Asia Tenggara untuk menyuarakan tekanan untuk mendesak militer di Myanmar menghentikan kekerasan, memulihkan internet dan menghormati hak digital yang dibutuhkan warga Myanmar di masa seperti sekarang ini," demikian keterangan tertulis masyarakat sipil yang diterima Kompas.com, Selasa (2/2/2021).
Laporan organisasi pemantau jaringan internet Netblocks mengungkap telah terjadi gangguan jaringan internet di Myanmar di tengah pemberontakan militer dan laporan penahanan kepemimpinan sipil.
Baca juga: Aung San Suu Kyi Dikabarkan Jadi Tahanan Rumah dalam Kudeta Myanmar
Data jaringan dari NetBlocks Internet Observatory menunjukkan permulaan gangguan internet yang meluas di Myanmar pada Minggu (31/1/2021) waktu setempat di tengah laporan pemberontakan militer dan penahanan para pemimpin politik termasuk Aung San Suu Kyi.
Gangguan telekomunikasi yang dimulai sekitar pukul 03.00, Senin pagi waktu setempat memiliki dampak subnasional yang signifikan, termasuk ibu kota dan kemungkinan akan membatasi cakupan acara saat berlangsung.
Pemutusan berkelanjutan telah dipantau dengan konektivitas nasional yang awalnya turun 75 persen dan kemudian 50 persen dari tingkat biasa pada pukul 08.00 waktu setempat.
Organisasi masyarakat sipil Indonesia juga mendesak dibebaskannya dan dilindunginya semua pemimpin, aktivis, pembela hak asasi manusia, jurnalis, aktivis, dan semua pihak yang mungkin dianggap mengkritik militer dari tindakan kekerasan.
Selain itu, mereka juga harus bersama-sama dekat dengan informasi bagi warga, terutama akses internet. Karena, saat ini informasi vital bagi proses transparansi.
"Menghentikan dan memfilter pengguna dari akses internet, terlepas dari justifikasi yang diberikan, menjadi tidak proporsional dan dengan demikian melanggar pasal 19 ayat 3 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICPPR)," tegas organisasi masyarakat sipil.
Baca juga: Kudeta Militer, Berikut Kondisi WNI dan Kontak Darurat KBRI di Myanmar
Adapun organisasi masyarakat sipil dan individu yang menyerukan solidaritas terhadap situasi Myanmar meliputi SAFEnet, NetBlocks, Migrant CARE, Asia Democracy Network (ADN), Human Rights Working Groups (HRWG), PurpleCode Collective, Perkumpulan Inisiatif, Bandung Digital Defender Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Kemudian Cambodian Food and Service Workers'Federation (Kamboja), The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, DHEWA (Development for Health Education Work & Awareness) Pakistan, Imparsial, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Gayathry Venkiteswaran (Malaysia), Edgardo Legaspi (Filipina), dan Center for Alliance of Labor and Human Rights (Central)
Militer Myanmar sebelumnya mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun pada Senin (1/2/2021).
Pihak militer yang dikenal sebagai Tatmadaw, juga menunjuk seorang jenderal sebagai Pelaksana Tugas (plt) Presiden Myanmar.
Pengumuman itu disampaikan melalui siaran langsung di Myawaddy TV milik militer. Menurut Tatmadaw, dilansir dari AFP, langkah tersebut diambil untuk menjaga stabilitas negara.