Resolusi itu disampaikan kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Hasilnya, resolusi ini membawa pengaruh yang besar.
Resolusi itu kemudian dikenal dengan nama resolusi jihad, yang artinya berperang dalam rangka mempertahankan kemerdekaan sama dengan berjuang di jalan Allah.
Untuk menghormati sumbangsih para santri tersebut, pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Berkiprah di politik praktis
NU memulai kiprahnya di awal zaman kemerdekaan dengan terjun ke politik praktis. Saat itu NU tergabung di dalam partai politik yang menjadi wadah bagi seluruh golongan umat Islam yakni Masyumi.
Namun, NU kemudian keluar dari Masyumi pada 1952 akibat ada ketidaksepahaman. Hal itu dipicu dengan terpinggirkannya para kiai dan ulama NU dalam struktur kepengurusan Masyumi.
Baca juga: Harlah ke-95 NU, Wapres: NU Memegang Teguh Amanah Kebangsaan
Saat itu para kiai dan ulama NU banyak yang duduk di Majelis Syuro Masyumi. Namun kemudian kewenangan Majelis Syuro dipangkas hanya sebatas memberikan konsultasi, bukan menentukan keputusan partai.
Alhasil banyak warga NU yang tak terima lantaran merasa para kiai dan ulama mereka tak lagi dianggap penting di dalam struktur kepengurusan Masyumi.
NU pun memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Pada pemilu 1955 NU kian memantapkan posisinya di kancah politik nasional sebagai peraih suara terbanyak ketiga.
Wakil-wakilnya juga berhasil mendukuki sejumlah kabinet pemerintahan ketika itu. Dalam Pemilu 1971, NU bahkan berhasil pada urutan kedua di bawah Golkar. Mereka akhirnya menikmati fasilitas dan kemudahan dari pemerintah ketika itu.
Namun konsep ini pun menjadi kendala ketika Soeharto menerapkan penyederhanaan jumlah partai politik yang menyebabkan hanya ada tiga partai yakni Golkar, PPP, dan PDI. Akibatnya, anggota NU banyak yang berafiliasi ke dalam PPP untuk kepentingan politiknya.
Baca juga: PDI-P Gelar Harlah NU ke-95, Bakal Dihadiri Megawati hingga Gus Miftah
Sempat terbelah
Perjalanan NU hingga 95 tahun eksis sebagai Ormas Islam di Indonesia tak selamanya mulus. NU pun pernah diterpa konflik internal yang cukup mengancam eksistensi mereka.
Menjelang pelaksanaan Muktamar ke-27, para pemimpin NU terbelah menjadi dua kubu. Dilansir dari nu.or.id, Kubu Cipete bermuara pada Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara KH.R. As'ad Syamsul Arifin.
Kondisi ini terjadi sepeninggal Rais mereka meninggal, yakni Bisri Syansuri pada 1980. Akibatnya, kedua kubu membuat munas masing-masing. Kubu Situbondo menggelar Munas dengan menunjuk Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua panitia Muktamar ke-27.