Harus dibahas serius
Dia melanjutkan, menimbang Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, pilihan model keserentakan pemilu akan sangat mempengaruhi kualitas tata kelola pemilu Indonesia.
"Oleh karena itu, RUU Pemilu harus dibahas serius dengan waktu yang cukup dan memadai, " kata Titi.
Pembahasan ini harus melibatkan para pemangku kepentingan, disimulasikan dengan komprehensif, serta membuka ruang partisipasi yang luas.
Titi juga menyarankan, RUU Pemilu juga perlu disusun lebih adaptif pada situasi pandemi atau potensi bencana nonalam lainnya.
Baca juga: Ingin Pilkada Tetap 2024, PKB: Tak Ada Hubungan Hambat Anies atau Ridwan Kamil
"Kemudian, peluang pemilihan via pos (postal voting), pemilihan lebih awal tidak hanya dalam satu hari (early voting/advance voting), dan penggunaan teknologi penghitungan suara (e-recap) harus dipertegas dan diperjelas pengaturannya," tambah Titi.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menggodok RUU Pemilu.
RUU ini masuk dalam daftar 33 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021.
Komisi II DPR mengusulkan revisi UU Pemilu ini ke Badan Legislasi (Baleg) pada Senin (16/11/2020) dengan alasan bahwa terjadi tumpang tindih pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.
Oleh karenanya, Komisi II memutuskan agar pelaksanaan Pemilu dan Pilkada diatur dalam satu undang-undang.
"Ini kami juga dasari perubahan dalam keputusan MK, baik tentang UU Pemilu dan ada enam putusan MK tentang UU Pilkada," kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia dalam paparannya dalam rapat Baleg secara virtual, Senin (16/11/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.