Untuk itu, ia meminta pelaksanaan Pilkada tetap dijalankan sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016.
"Pilkada Serentak 2024 yang diatur dalam UU tersebut belum dijalankan, bagaimana perubahan akan dilakukan? Jadi dilaksanakan dulu tahun 2024, baru dievaluasi," ujarnya.
Senada dengan Djarot, Anggota DPR dari Fraksi PKB Luqman Hakim mengatakan, sebaiknya Pilkada serentak digelar sesuai ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Baca juga: Politisi PDI-P: Revisi UU Pemilu Berpotensi Timbulkan Ketegangan Politik
Alasannya, saat ini Indonesia masih fokus dalam penanganan pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi.
Luqman memprediksi, sekitar dua tahun ke depan, Indonesia masih akan fokus dalam menangani pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, apabila pilkada dilaksanakan pada 2024, pemerintah akan lebih fokus pada penanganan pandemi.
"Dengan skema pilkada serentak 2024, situasi politik nasional akan lebih kondusif dan anggaran negara dapat difokuskan untuk memulihkan ekonomi, mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang melonjak akibat pandemi Covid-19," ujar dia.
Baca juga: Soal Revisi UU Pemilu, Gerindra Tunggu Hasil Koordinasi dengan Partai Lain
Sementara itu, Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan, partainya menyetujui ketentuan yang dimuat di dalam draf RUU Pemilu bahwa Pilkada dilangsungkan 2022 dan 2024.
Alasannya, jika pelaksanaan pilkada berdekatan dengan pilpres, masyarakat akan kehilangan momentum mendalami visi misi dan rekam jejak calon kepala daerah.
"Bagaimanapun, pilpres memiliki daya magnet yang luar biasa. Keserentakan pilpres dan pileg di 2019 lalu, memberikan contoh nyata bagaimana pileg tenggelam di tengah hiruk pikuk pilpres. Begitu juga kemungkinan nasib Pilkada," ujar Herzaky dalam keterangan tertulis, Rabu (27/1/2021).
Baca juga: MK Segera Tentukan Kelanjutan Gugatan Rizal Ramli soal Presidential Threshold
Kendati demikian, Herzaky menghormati opsi apa pun yang akan disepakati antara DPR dan pemerintah terkait RUU Pemilu demi merawat demokrasi di Tanah Air.
Ia mengingatkan, jangan sampai ada pihak yang memaksakan Pilkada serentak 2024 hanya karena kepentingan pragmatis yang tidak pro rakyat.
"Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.