Tepat seminggu sudah, muncul masalah yang mengusik kebinekaan kita. Seorang siswi non-Muslim di SMK Negeri 2 Kota Padang dipaksa oleh pihak sekolah untuk menggunakan jilbab.
Jilbab sebagai salah satu identitas yang paling kentara bagi seorang Muslimah secara serampangan dipaksakan oleh lembaga pendidikan di bawah naungan pemerintah kepada siswinya yang tidak sesuai dengan agama maupun keyakinannya.
Indonesia sebagaimana sudah menjadi takdirnya adalah sebuah entitas yang lahir dan tumbuh berkembang di atas kebinekaan. Kebinekaan agama, etnis, ras, antargolongan, bahasa, budaya adalah beberapa contoh yang senyatanya telah menjadi bagian dari kehidupan anak-anak bangsa dari Merauke sampai Sabang.
Penulis dengan sengaja mendahulukan Merauke di depan ketimbang Sabang, agar cara berpikir kita pun berubah, tidak melulu mengedepankan Indonesia Barat.
Para pendiri bangsa tanpa terkecuali telah bersepakat menjadikan kebinekaan sebagai nilai yang mesti dikembangkan dan dirawat secara terus-menerus oleh seluruh komponen bangsa, terlebih para pengelola negeri.
Sekolah negeri sebagai entitas persemaian persatuan, kebangsaan, dan keterbukaan merupakan garda terdepan yang mendidik siswa-siswinya untuk menjadi agen-agen pemersatu dengan segala keunikan di antara mereka.
Pemaksaan keyakinan dengan dalih peraturan sekolah tentu sangat memalukan dilakukan oleh kepala sekolah beserta perangkanya. Sekolah yang berisi sekian belas bahkan puluhan guru, belum lagi adanya komite sekolah tentu mengusik nurani penulis sebagai anak bangsa yang Muslim santri.
Sungguh tidak rela bagi penulis menyaksikan dengan telanjang mata, seorang pengambil kebijakan bersikap sangat arogan memaksakan apa yang diyakininya kepada siswinya yang jelas berbeda agama/keyakinan.
Masalah ini muncul ke permukaan akibat adanya media sosial yang membukakan mata publik nasional. Orang tua siswi mengunggah video perdebatannya dengan sekolah, yang terlihat memaksakan aturannya pada siswi tersebut.
Tanpa adanya media sosial, susah rasanya masalah ini mencuat ke masyarakat luas hingga sampai ke telinga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Permasalahan pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi non-Muslim di SMKN 2 Padang, direspons dengan cepat oleh Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda yang memrotes aturan tidak pantas tersebut. Dalam keterangan tertulisnya, ia menyampaikan:
“Kejadian-kejadian tersebut cukup memprihatinkan karena diduga dilakukan oleh tenaga kependidikan di sekolah negeri yang harusnya mengarusutamakan nilai-nilai Pancasila dengan inti penghormatan terhadap nilai kebhinekaan,” ungkap Syaiful.
Sementara itu, Nadiem Makarim selaku Mendikbud, dalam pesan videonya mengungkapkan, “Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan agar permasalahan ini menjadi pembelajaran kita bersama ke depannya,” ucap Nadiem.
Mendikbud langsung pada pokok permasalahan dengan tidak memberikan ruang sama sekali atas praktik yang mencederai kebinekaan ini.
Adapun Komnas HAM, melalui Ketuanya Ahmad Taufak Damanik menyatakan, "Kemarin saya minta Kepala Perwakilan Komnas HAM Sumatera Barat melakukan pemantauan kasus ini. Hasilnya, pagi tadi Kadis Pendidikan Provinsi Sumbar memastikan bahwa peraturan diskriminatif tersebut dibatalkan dan Kepala Sekolah SMKN 2 Padang sudah minta maaf," ungkap Damanik seperti diberitakan Kompas.com, Sabtu (23/1/2021).
Lebih lanjut Damanik dengan tegas meminta sekolah untuk membatalkan segera aturan diskriminatif tersebut. "Kami pasti akan meminta peraturan seperti itu dibatalkan karena tidak sejalan dengan prinsip non-diskriminasi," kata Damanik.
Sekolah sebagai arena pembelajaran peserta didik tidak boleh menyebarkan nilai-nilai yang memojokkan salah satu kelompok di masyarakat. Inilah benang merah yang dapat kita tangkap dari respons para pengambil kebijakan di bidang pendidikan.
Hal ini merupakan sinyal positif dengan adanya langkah seirama sekata antara eksekutif dan legislatif mengenai pentingnya mengedepankan nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan yang memang ruh bangsa ini.
Mengapa sampai terjadi pemaksaan dari pihak sekolah kepada siswinya yang berbeda agama/keyakinan? Hal ini menjadi pertanyaan besar.
Sudah 75 tahun Indonesia merdeka. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk Negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara, semuanya sebagai acuan berbangsa-bernegara telah termaktub dengan terang benderang.
Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 tertulis, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Bahkan di Pasal 28E ayat 1 juga telah disebutkan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, …”.
Pun disebutkan pula tentang jaminan tiap warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif, di Pasal 28I ayat 2, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Mengacu pada UUD 1945 hasil amandemen keempat, maka tidak ada alasan apa pun bagi tindakan diskriminatif, terlebih apabila itu dilakukan oleh pengambil kebijakan di lembaga-lembaga negara, seperti oleh kepala sekolah di sekolah negeri.
Apa yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang Sumatera Barat di atas, seperti mengafirmasi riset dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jakarta tahun 2010-2011 di SMA di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi yang temuannya menunjukkan terdapat 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi.
Meskipun penelitiannya di wilayah Jabotabek, terkesan mendapat konfirmasi di SMKN 2 Padang. Hal ini tentu mesti dilakukan penelitian lebih mendalam, ketimbang didasarkan pada asumsi semata.
Sekiranya kepala sekolah beserta perangkatnya berpegangan teguh pada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta mengacu dengan tertib pada UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, yang sudah menyebutkan dengan gamblang tentang pentingnya menghormati agama maupun keyakinan tiap warga negara, maka semestinya tidak ada aturan yang sifatnya memaksakan dan diskriminatif pada peserta didik.
Benih-benih intoleransi yang dilakukan oleh kepala sekolah berikut jajarannya yang menerapkan kebijakan diskriminatif sudah sepantasnya menjadi perhatian bersama para pemangku kepentingan pendidikan di negeri ini. Kasus di SMK Negeri 2 Padang kedepan tidak boleh terulang di sekolah-sekolah lain di seluruh Indonesia.
Perlu kiranya Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI) 2020-2035 yang hari ini sedang disusun untuk memaksimalkan internalisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika di dalam pendidikan nasional.
Dari jenjang PAUD, SD, SMP, SMA/K hingga perguruan tinggi empat pilar MPR RI tersebut harus dimasukkan sebagai kurikulum utama serta menjadi pembelajaran di seluruh sekolah negeri maupun swasta.
Empat Pilar MPR RI merupakan visi negara yang seharusnya menjadi spirit kehidupan berbangsa dan bernegara.
Visi negara sebagaimana telah dipikirkan dengan seksama oleh para pendiri bangsa pada saat kemerdekaan dulu harus diejawantahkan secara terus-menerus oleh setiap pemerintahan yang berkuasa hari ini dan ke depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.