Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wijayanto
Dosen

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Jakarta dan sekaligus Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES. Penulis juga Dosen Media dan Demokrasi, FISIP UNDIP, meraih gelar Doktor dalam bidang Media dan Politik dari Universitas Leiden pada tahun 2019.

Mendengarkan (Kembali) Suara Rakyat

Kompas.com - 17/01/2021, 19:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Baik kicauan buzzers dan robot lebih mengejar kuantitas semata untuk memadati ruang publik ketimbang bobot argumentasi. Satu temuan yang cukup mengejutkan adalah bahwa akun-akun ini ternyata bisa beroperasi pada lebih dari satu kebijakan sehingga kita bisa menemukan pola yang ajeg.

Misalnya, dari sisi akun buzzers riset kami menemukan bahwa akun bernama @digembokFC adalah akun yang beroperasi untuk mendukung revisi UU KPK, Omnibus Law dan Pilkada di tengah pandemi.

Hal ini juga terjadi pada akun robot, di mana ada akun bernama Vania_Ciprut yang beroperasi di tiga kebijakan kontroversial di tahun 2020: New Normal, Omnnibus Law dan Pilkada di tengah pandemi.

Selanjutnya, ada satu upaya kreasi konten secara sengaja di media sosial yang diiringi dengan diseminasi secara masif agar menjadi viral dan trending topik.

Hal ini tampak jelas misalnya dalam kasus penggalangan dukungan atas revisi UU KPK. Masih segar dalam ingatan kita bahwa pada hari-hari itu, Twitter dipenuhi oleh tagar berbunyi #KPKdanTaliban.

Pantauan riset kami menunjukkan bahwa antara 10-17 September 2019 terdapat 16.521 cuitan yang menggunakan tagar itu yang tujuannya jelas untuk menggiring opini publik seakan KPK adalah sarang dari kelompok radikal islam tak pernah terbukti hingga hari ini.

Upaya untuk memviralkan dukungan pada revisi UU KPK juga dilakukan dengan cara-cara lain yang tak wajar seperti misalnya adanya kuis “GiveAway” di mana warga maya akan mendapatkan pulsa 50 ribu untuk 2 orang yang mau membuat status apa saja namun dengan tagar #KPKPATUHAturan.

Hal ini ditujukan untuk memberikan tekanan kepada KPK yang para komisionernya menolak revisi untuk mematuhi revisi yang ada. Dalam hal ini kuis ini terbukti berhasil karena tagar #KPKPATUHAturan dikicaukan sebanyak 18.043 kali.

Pada akhirnya narasi yang menolak revisi kebijakan yang bermasalah kalah oleh pasukan siber yang mendukung kebijakan itu sehingga narasi yang mendukung kebijakan pada akhirnya menjadi satu-satunya narasi yang tetap hidup di Twitter.

#MudahDapatKerja, misalnya, menjadi trending topik di Twitter yang terus ada bahkan setelah UU Cipta Kerja disahkan. Kemudian, tagar #TaatProkesSaatPilkada merupakan narasi dominan yang ada di Twitter menjelang pelaksanaan Pilkada.

Kasus revisi UU KPK pun tak terkecuali. Kita ingat bahwa dugaan KPK sebagai sarang kelompok islam radikal yang dimetaforkan dengan istilah Taliban bahkan sempat berhasil mempengaruhi pemberitaan media arus utama secara masif.

Tampak jelas bahwa narasi yang dibangun oleh kelompok masyarakat sipil organik seperti Anita Wahid, Alisa Wahid, Dandhy Dwi Laksono, Savic Ali untuk penolakan revisi UU KPK, maupun tokoh seperti Susi Pudji Astuti, Andreas Harsono, Laode M Syarif, Sujiwo Tejdo, Ridwan Kamil untuk penolakan RUU Cipta Kerja ini bukanlah tandingan pasukan siber yang berisi kombinasi akun influencer, buzzers, dan robot.

Adalah benar bahwa penggunaan pasukan siber adalah satu normalitas baru dalam demokrasi di era digital. Dua orang peneliti Oxford, Phillip N Howard dan Samantha Bradshaw (2019) dalam studi mereka misalnya mengungkapkan bahwa penggunaan pasukan siber telah dilakukan di 70 negara di dunia.

Dalam hal ini pasukan siber mereka definisikan dengan netral sebagai sekolompok aktor yang mendapat tugas untuk mempengaruhi opini publik di internet. Satu definisi yang cukup netral.

Namun, menjadi ironi jika dialog di internet itu justru diserahkan kepada para buzzers dan, terlebih lagi, robot.

Pemeritah perlu mempraktikkan dialog yang sehat, dengan menggunakan media sosial untuk berdialog secara langsung dengan warga negara untuk mendengarkan kritik atas kebijakan yang akan atau telah dijalankan, memberikan penjelasan dan argumentasi untuk memberi edukasi kepada publik.

Jika dari dialog yang terjadi ternyata ditemukan bahwa satu kebijakan memang lebih banyak membawa kerugian, tak ada salahnya untuk dibatalkan.

Dengan demikian, pemerintahan Jokowi akan bisa benar-benar mewujudkan tekad untuk mendengarkan suara rakyat seperti disampaikan Presiden Jokowi pada hari pelantikan sebagai Presiden untuk pertama kalinya.

Mendengarkan suara rakyat merupakan habitus yang mengantarkan Jokowi menjadi pemimpin negeri ini. Semoga mendengarkan kembali suara rakyat, termasuk yang terfleksi di media sosial, menjadi semangat pemerintah untuk menjalani tahun baru 2021 ini dalam upaya menahan laju kemunduran demokrasi di Indonesia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Nasional
Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Nasional
PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com