Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wijayanto
Dosen

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Jakarta dan sekaligus Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES. Penulis juga Dosen Media dan Demokrasi, FISIP UNDIP, meraih gelar Doktor dalam bidang Media dan Politik dari Universitas Leiden pada tahun 2019.

Mendengarkan (Kembali) Suara Rakyat

Kompas.com - 17/01/2021, 19:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Kekuasaan itu untuk kemanfaatan, untuk masyarakat, untuk rakyat dan bangsa. Karena itu, saya selalu mengatakan harus selalu dekat dengan rakyat, selalu mendengar rakyat. Tujuannya agar kebijakan pemerintah itu bisa bermanfaat untuk rakyat.”

DEMIKIAN ungkap Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebagaimana diberitakan oleh Kompas pada 20 Oktober 2014 atau bersamaan dengan hari pelantikannya sebagai Presiden Indonesia untuk pertama kalinya (Kekuasaan Untuk Rakyat, Kompas, 20 Oktober 2014).

Kalimat yang merupakan hasil wawancara secara langsung ini merefleksikan komitmen kuat dan pemahaman jernih presiden terhadap demokrasi yang esensinya adalah mendengar suara rakyat.

Baca juga: Polarisasi Memorakporandakan Demokrasi Amerika

Komitmen ini sangat penting untuk kita ingat kembali untuk melakukan refleksi atas tahun 2020 dan mengawali tahun 2021 ini. Terlebih mengingat bahwa hingga pada tahun 2020 kemarin, berbagai studi dari dalam maupun luar negeri telah menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran yang teramat serius.

Para ahli menyepakati bahwa kemunduran demokrasi merupakan suatu proses yang berjalan secara perlahan yang ditandai dengan situasi di mana aktor politik secara perlahan berpaling dari nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokratis.

Mengapa kemunduran demokrasi terjadi?

Para ilmuwan bersepakat bahwa salah satu penyebab utamanya adalah situasi struktural adanya oligarki yang telah terbangun sejak masa Orde Baru yang kembali mengonsolidasikan diri selama reformasi yang puncaknya terjadi pemilu 2019.

Secara ringkas, oligarki dapat didefinisikan sebagai persekongkolan kelompok elite kaya dan berkuasa yang ingin terus mempertahankan kekayaan dan kekuasaannya dan membajak sitem demokrasi yang ada (Winters, 2010; Robison dan Hadiz, 2013).

Pintu masuk yang digunakan oleh elite oligarki adalah pemilihan umum yang diwarnai oleh politik kartel, politik dinasti, dan politik uang sehingga siapa pun yang terpilih akan memiliki utang budi pada elit oligarki ini dan harus kembali membayar kembali utang mereka baik secara langsung maupun tidak langsung.

Baca juga: Mobokrasi, Demokrasi AS yang Kebablasan

Ia bisa berupa posisi politik di pemerintahan yang akan dengan mudah kita lihat, maupun dengan kebijakan politik yang menguntungkan kaum elite yang lebih sulit untuk dilacak tanpa studi yang mendalam.

Maka, tidak mengherankan jika para ahli mengungkapkan bahwa, berbeda dengan masa dahulu di mana aktor utama kemunduran demokrasi adalah tantara, kini aktor utama kemunduran demokrasi itu justru pemimpin yang terpilih secara demokratis.

Konsolidasi oligarki usai pemilu 2019 inilah yang menjadi prakondisi struktural kita memasuki tahun pandemi 2020 yang menghasilkan tiga kebijakan yang kontroversial namun tetap dipaksakan untuk terus dilanjutkan: pemberlakukan new normal di tengah kurva pandemi yang masih meningkat tajam, pengesahan undang-undang cipta kerja di tengah kecaman berbagai kalangan dan pelaksanaan pilkada langsung juga di tengah kurva yang naik tajam dan terbukti makin meningkat usai pelaksanaan pilkada.

Kritik yang masif yang muncul dari masyarakat sipil terhadap tiga kebijakan di atas, setidaknya sebagaimana terefleksi di media sosial, tidak didengarkan oleh pemerintah namun justru berhadapan dengan serangan balik pasukan siber yang secara masif terorkestrasi untuk meredam kritisime yang muncul dan menggiring opini publik untuk berbalik mendukungnya.

Menghadapi kritik dengan pasukan siber ternyata tidak hanya dilakukan pada ketiga kebijakan di atas saja, namun telah dilakukan sejak revisi UU KPK yang terjadi pada September 2019 atau tidak lama setelah pemilu berakhir.

Itulah salah satu kesimpulan besar dari studi yang tengah dilakukan oleh LP3ES bekerjasama dengan Universitas Amsterdam dan KITLV Leiden tentang dinamika percakapan di media sosial terhadap kebijakan di atas.

Baca juga: Kualitas Demokrasi Sepanjang 2020 Dinilai Turun

Praktik penggiringan opini publik oleh pasukan siber itu dapat dilihat dari satu adanya "gelombang tsunami" percakapan di media sosial menjelang atau segera setelah pengesahan suatu kebijakan dengan volume yang sangat besar yang ada di luar kewajaran yang umumnya disuarakan oleh akun-akun anonim (buzzers) dan, bahkan, akun-akun robot (bots).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

Nasional
Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Nasional
Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Nasional
TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P 'Happy' di Zaman SBY...

TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P "Happy" di Zaman SBY...

Nasional
KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

Nasional
'Groundbreaking' IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

"Groundbreaking" IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

Nasional
Karpet Merah Parpol Pengusung Anies untuk Prabowo...

Karpet Merah Parpol Pengusung Anies untuk Prabowo...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com