Pertama kali mengenal Pak Sayidiman ketika saya mengedit buku beliau yang berjudul Mengobarkan Kembali Api Pancasila (Penerbit Buku Kompas, 2014) dan buku Budaya Gotong Royong dan Masa Depan Bangsa (Penerbit Buku Kompas, 2016).
Sejak saat itulah saya beberapa kali berdiskusi dengan beliau secara langsung di rumahnya di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Ketika bertemu, Pak Sayidiman memberi buku biografi berjudul Sayidiman Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI: Sebuah Otobiografi.
Beliau juga menunjukkan buku-buku lain hasil karyanya, baik yang sudah diterbitkan penerbit lain maupun buku kumpulan tulisan yang dicetak terbatas. Kumpulan tulisan itu ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan berbagai tema.
Kegemaran beliau dalam tulis-menulis ini memang sudah sejak muda, buku hasil karya lainnya di antaranya buku Taktik dan Tehnik Infanteri, Masalah Pertahanan Negara, Langkah-Langkah Perdjoeangan Kita, Belajar dari Jepang, dan sebagainya.
Buku yang telah ditulisnya hingga saat ini sudah sekitar 13 judul.
Memperhatikan purnawirawan TNI yang mengisi waktunya dengan aktif menulis, saya jadi teringat Jenderal TNI (Purn) A.H. Nasution (almarhum) dan Letjen TNI (Purn) TB Simatupang (almarhum) yang juga aktif menulis buku pada zamannya.
Sekarang ini saya mengenal juga purnawirawan TNI lainnya yang juga rajin menulis, yaitu Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim dan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri yang telah menulis buku yang kebanyakan diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Pak Sayidiman mengakui kalau menulis umumnya tulisannya panjang-panjang karena bahan yang ditulisnya sangat padat. Beliau juga bercerita, apabila tengah malam mendapat ide, tanpa menunda-nunda lagi segera langsung menuju meja kerja untuk menuliskan ide tersebut.
Menariknya, apabila ditanya seputar perang kemerdekaan, maka Pak Sayidiman akan bercerita penuh semangat. Jiwa juangnya seketika muncul. Ia menceritakan keikutsertaannya semasa long march (perjalanan panjang) pasukan Siliwangi tahun 1948 dari Jawa Tengah ke Jawa Barat.
Kebetulan pada tahun 1948 tersebut, Pak Sayidiman sebagai taruna Akademi Militer Yogya, yang baru saja dilantik oleh Presiden Sukarno menjadi Letnan Dua TNI-AD.
Pak Sayidiman menceritakan seluruh prajurit dan keluarganya yang ikut long march benar-benar mengalami penderitaan luar biasa.
Para prajurit yang sudah berkeluarga terpaksa membawa serta istri dan anak-anaknya, karena mereka tidak mau ditinggal, ingin kembali ke kampung halaman di Jawa Barat.
Selama perjalanan jauh inilah mereka dilanda kelaparan, sakit penyakit, kehujanan atau kepanasan, terkadang diserang pasukan Belanda yang melihat rombongan ini. Perjalanan jauh sepanjang 600 kilometer ini menyisakan penderitaan yang sangat panjang dan tidak pernah terlupakan.
Kalau ditanya siapa saja teman seperjuangannya, hebatnya Pak Sayidiman masih ingat nama-namanya. Kemudian beliau menambahkan, menuju Indonesia merdeka waktu itu memang melalui dua jalur, yaitu perjuangan revolusi fisik dan perjuangan diplomasi.
Perjuangan fisik bertempur di medan laga termasuk gerilya, yang mempertaruhkan jiwa raga. Kemudian perjuangan diplomasi beradu argumentasi di meja perundingan.
Seluruh tujuan perjuangan revolusi fisik dan diplomasi tersebut tujuannya agar kemerdekaan Indonesia diakui secara de facto dan de jure.
Sekali lagi, selamat jalan Pak Sayidiman di peristirahatan terakhir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.