Kebanyakan pengaturan terkait OTT menyasar pada aspek bisnis ketimbang konten.
Adapun regulasi konten terbatas pada hal-hal yang dianggap amat berbahaya seperti ujaran kebencian atau pornografi anak.
Di luar itu, publik diharapkan memiliki kedewasaan untuk memilih konten yang dikonsumsi atau diproduksinya sendiri.
Kesadaran untuk membedakan implikasi sosial dan hukum dari aplikasi teknologi digital dan analog ini penting, agar kita tidak sembarangan menyamaratakan keduanya.
Pasalnya, menaruh OTT dalam definisi penyiaran dapat berdampak membunuh potensi dari OTT sebagai alat demokrasi maupun ekonomi.
Dalam merespons disrupsi yang diakibatkan oleh perkembangan OTT, negara-negara menggunakan dua jenis pendekatan regulasi yang berbeda terhadap OTT: menggunakan Paradigma Lama seperti di Thailand atau menggunakan Paradigma Baru seperti di Australia.
Regulator penyiaran dan telekomunikasi di Thailand, National Broadcasting dan Telecomm Commission (NBTC) meregulasi penyelenggara OTT agar mendaftarkan diri (mendapat lisensi) dan tunduk pada regulasi NBTC (Film and Video Act B.E. 2551), yang mengharuskan setiap produk film dan video melalui proses sensor.
Alih-alih membuat kerangka regulasi yang lebih sesuai dengan karakter teknologi dan fungsi sosial OTT, NBTC memilih menyetarakan OTT dengan penyiaran. Dengan cara ini, seolah kesetaraan atau keadilan usaha telah dicapai.
Padahal ia menyisakan banyak masalah yang antara lain bisa diidentifikasi dari dua pertanyaan. Mungkinkah secara teknologi pengawasan atau sensor atas OTT dilakukan secara menyeluruh (tidak hanya OTT yang memiliki pasar yang besar)?
Dan jika pun bisa, bagaimana memastikan pengawasan dalam bentuk sensor dan sanksi tanpa harus mengorbankan hak asasi manusia untuk berekspresi? Kita tahu, jawabannya hampir mustahil.
Tapi tentu, sebagian negara lain menempuh proses yang berbeda. Australia adalah salah satu yang menggunakan paradigma baru dalam mengatur layanan OTT.
Paradigma baru ini dicirikan oleh sikap regulator yang antisipatif dan penerapan kebijakan yang berangkat dari pemahaman memadai atas perbedaan konteks sosial teknologi antara OTT dan penyiaran.
Dalam sistem hukum Australia, konten internet diatur oleh Australian Communications and Media Authority (ACMA).
Lembaga ini mengeluarkan peraturan berdasarkan keputusan klasifikasi layanan OTT video dari Classification Act (1995) yang mengatakan bahwa layanan OTT dengan sistem berlangganan tidak dapat menggunakan pendekatan pengaturan yang sama untuk klasifikasi seperti penyiaran.
Oleh karena itu, layanan OTT video sejenis tidak tunduk pada peraturan untuk TV free-to-air, kabel atau satelit. OTT diatur menggunakan self-regulatory model, artinya penyelenggara OTT diharuskan mengatur dirinya sendiri.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.