Oleh Damar Juniarto dan Muhamad Heychael*
PADA 14 Januari 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan atas gugatan terhadap Pasal 1 Ayat (2) UU Penyiaran yang diajukan RCTI dan iNews.
Isi amar putusan yang dibacakan hakim ketua Anwar Usman menyebutkan MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Dalil-dalil yang diajukan para pemohon dinilai tidak berdasar.
Dalam gugatannya pada 27 Mei 2020, RCTI dan iNews menilai Pasal 1 Ayat (2) UU Penyiaran bersifat ambigu karena tidak mengategorikan over-the-top sebagai bentuk penyiaran.
Argumentasinya, konten/video on demand/streaming tidak berbeda dengan televisi karena memproduksi luaran yang sama, yakni konten audio-visual.
Baca juga: MK Tolak Gugatan Inews TV dan RCTI soal UU Penyiaran, Dianggap Tak Berdasar
Tidak berhenti hanya dengan menggugat UU Penyiaran, dalam pelbagai berita di media disebutkan RCTI dan iNews telah mengusulkan untuk mengganti definisi penyiaran pada Pasal 1 Ayat (2) hingga mencakup layanan over-the-top/OTT (khususnya konten/video on demand/streaming).
Jika usul ini diadopsi, implikasinya sebagaimana dinyatakan oleh Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M Ramli, akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan jadi lembaga penyiaran yang wajib berizin.
Menaruh OTT dalam konteks penyiaran adalah sebentuk kegagalan memahami perbedaan mendasar antara teknologi analog dan digital serta implikasi sosial dan hukum yang menyertainya. Jamak diketahui, penyiaran menggunakan teknologi analog.
Pemancarluasan siaran menghasilkan model komunikasi yang serempak atau kita kenal dengan istilah komunikasi massa. Kita yang menyaksikan MNC di Jakarta dengan saudara kita di Papua akan mendapati tayangan yang sama.
Baca juga: MK Tolak Gugatan Inews dan RCTI, Youtuber dan Netflix Tak Terdampak UU Penyiaran
Implikasi sosialnya, media penyiaran tidak memberi agensi yang luas pada publik. Inilah antara lain mengapa di banyak negara demokratis, selain karena ia menggunakan ranah publik (gelombang elektromagnetik), media penyiaran diregulasi secara ketat.
Tujuannya untuk memastikan bahwa publik “yang tidak punya banyak pilihan” terlindungi dari dampak konten negatif.
Sementara model-model komunikasi dari media digital menggunakan sistem jaringan. Dua orang dari dua lokasi yang berbeda kala membuka Youtube akan mendapati sajian tayangan yang berbeda.
Aspek lainnya adalah, media digital seperti Youtube juga memungkinkan user-generated content/UGC. Artinya, pelaku komunikasinya tidak lah satu pihak.
Logika produsen-konsumen dalam penyiaran tidak berlaku dalam logika digital. Dalam konteks digital semua orang adalah prosumen (produsen sekaligus konsumen).
Implikasi sosialnya, di media digital, publik punya agensi yang lebih luas. Itulah mengapa aspek pengaturan media digital atau OTT umumnya jauh lebih longgar.
Baca juga: Ditolaknya Gugatan RCTI-iNews soal UU Penyiaran serta Dampaknya bagi Youtuber dan Netflix