JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban menyoroti persoalan narasi hukuman pidana bagi penolak vaksin yang tengah ramai diperbincangkan.
Dalam akun Twitternya @ProfesorZubairi, ia mengatakan, sebaiknya narasi hukuman pidana bagi penolak vaksin dikurangi.
"Buatlah sosialisasi yang kreatif dan edukatif. Saya rasa, mereka punya niat sama untuk atasi pandemi ini. Ajak diskusi. Jika sosialisasi maksimal, bisa jadi jumlah penolak vaksin akan berkurang. Ikhtiar," tulis Zubairi dalam akun Twitternya, Rabu (13/1/2021).
Membaca cuitan tersebut, Kompas.com melakukan konfirmasi langsung kepada Zubairi untuk meminta penjelasan mengenai maksud cuitan.
Pria yang akrab disapa Profesor Beri ini pun mulai bercerita dan menjelaskan maksud dari pernyataannya itu.
Baca juga: Polemik Pemilihan Raffi Ahmad sebagai Duta Vaksin Covid-19
Menurut dia, penolakan vaksin Covid-19 sudah terjadi sejak 6-7 bulan yang lalu. Penolakan itu pun tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Sebagai contoh, penolakan yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris.
"Penolakan vaksin ini ada dan kuat sekitar 6-7 bulan yang lalu. Namun kemudian seiring berjalannya waktu dan munculnya bukti ilmiah di banyak negara, secara bertahap jumlah orang yang menolak vaksin makin berkurang," kata Zubairi saat dihubungi Kompas.com, Kamis (14/1/2021).
Meski tindakan menolak vaksinasi merupakan perbuatan yang salah, menurut dia, hal itu bukanlah perbuatan yang jahat.
Sebab, mereka yang menolak vaksinasi tidak memahami bagaimana virus corona menular serta bahaya jika mereka tidak divaksin.
Kondisi itu, sebut dia, didasarkan pada pengalamannya saat melihat reaksi masyarakat yang menolak vaksin pada era penyakit HIV AIDS.
Baca juga: Dokter Tirta Tak Setuju Pemberian Sanksi Denda bagi Penolak Vaksinasi Covid-19
"Dalam HIV AIDS ini dulu orang mengira bahwa AIDS terlalu mudah ditularkan. Dan karena itu mereka pada panik. Untuk sekarang, menjadi berbahaya karena kalau tidak divaksinasi bisa menularkan ke orang lain," tuturnya.
Dalam kondisi pandemi seperti saat ini, sikap penolakan terhadap vaksin dapat membahayakan masyarakat. Tak hanya bagi yang menolak vaksinasi, tetapi juga masyarakat lainnya karena menjadi tak terlindungi.
"Dia bisa tertular, dan karena itu orang lain bisa tertular dari yang bersangkutan. Jadi tidak hanya sekadar membahayakan dirinya, namun juga membahayakan masyarakat banyak. Termasuk juga keluarganya, adiknya, kakaknya, anaknya, yang dekat dengan orang tersebut," ujarnya.
Meski begitu, ia menyatakan bahwa penolakan terhadap vaksinasi bukanlah suatu bentuk kejahatan.
Sebaliknya, persoalan ini muncul karena kurangnya pemahaman atau perilaku masyarakat. Sehingga, para penolak vaksin perlu diajak berdiskusi agar bersedia menerima vaksin.