JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar membantah pernyataan yang menyebut hukuman kebiri kimia yang baru saja diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 melanggar prinsip hak asasi manusia.
Menurut Nahar, hukuman kebiri kimia dalam PP merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
"(Hukuman kebiri kimia) semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa," kata Nahar kepada Kompas.com, Selasa (5/1/2021).
Baca juga: ICJR: PP Kebiri Kimia Memuat Banyak Permasalahan
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menyebut hukuman kebiri kimia sebagai bentuk penyiksaan dan melanggar prinsip HAM.
Komnas HAM juga menilai, perlu ada pengkajian ulang atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan PP Nomor 70 Tahun 2020 yang mengatur rinci hukuman tersebut.
Akan tetapi, Nahar menilai bahwa hukuman itu juga sudah sesuai dengan Undang-Undang tentang HAM yang berlaku di Indonesia.
Nahar menjelaskan, dalam Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM tertulis bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam UU HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU tersebut.
"Dengan demikian, UU HAM memperbolehkan pembatasan HAM seseorang. UU Nomor 17 Tahun 2016 juga telah disusun atas prinsip kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa," kata dia.
Baca juga: Komnas HAM Nilai Hukuman Kebiri Kimia Penyiksaan Tak Sesuai Prinsip HAM
Hal tersebut pula yang menjadikan hukuman tindakan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dilakukan.
Selain itu Nahar mengatakan, tidak semua pelaku kekerasan seksual akan dikenai tindakan kebiri kimia.
Ia menjelaskan, hanya pelaku yang pernah dipidana yang akan dikenakan tindakan kebiri kimia. Sebab, mereka melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.
Hal tersebut mengakibatkan jatuhnya korban lebih dari satu orang, luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
"Artinya, pelaku tersebut telah melakukan kejahatan sangat serius yang melanggar Pasal 28B ayat (2) Konstitusi," kata dia.
Baca juga: Kementerian PPPA: Tidak Semua Pelaku Kekerasan Seksual Dikenai Tindakan Kebiri Kimia
Nahar mengatakan, diakui bahwa kejahatan seksual tidak sekadar masalah penetrasi alat kelamin.
Dengan demikian, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak harus dibarengi dengan rehabilitasi.
Antara lain rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan medik untuk menekan hasrat seksual pelaku.
"Tindakan kebiri kimia dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian," kata Nahar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.