JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, Maklumat Kapolri Nomor 1/Mak/I/2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI, telah memicu kontroversi dan perdebatan.
Bahkan, beberapa poin materi yang diatur di dalam beleid tersebut dapat memicu kontroversi terutama dari aspek pembatasan hak asasi manusia (HAM). Salah satunya yaitu terkait keberadaan Pasal 2d.
"Salah satu yang paling kontroversial adalah perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial, sebagaimana diatur oleh poin 2d," tulis Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (2/1/2021).
Adapun keterangan tersebut disampaikan oleh ELSAM, ICJR, LBH Pers, PSHK, YLBHI, LBH Masyarakat, Kontras, PBHI, dan Imparsial.
Baca juga: LBH Pers Nilai Maklumat Kapolri soal FPI Ancam Kebebasan Berekspresi dan Pers
Menurut Ade, akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F.
Penilaian berikutnya, akses terhadap konten internet juga sudah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seperti Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
"Oleh karenanya dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945," imbuhnya.
Khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, kata dia, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang telah disahkan dalam hukum Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Lebih lanjut, dalam hukum HAM, ada tiga persyaratan yang harus diperhatikan untuk memastikan legitimasi dari suatu tindakan pembatasan yang dibolehkan (permissible restriction).
"Ketiga syarat tersebut sering dikenal sebagai three part test (tiga uji elemen), yang mengharuskan setiap pembatasan, diatur oleh hukum (prescribed by law), yang oleh sejumlah ahli ditafsirkan harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan untuk mencapai tujuan yang sah (legitimate aim)," terangnya.
Baca juga: Pimpinan DPR: Jangan Mudah Terprovokasi untuk Tentang Keputusan Pemerintah Soal Pembubaran FPI
Adapun tujuan yang sah di antaranya keamanan nasional, keselamatan publik, moral publik, kesehatan publik, ketertiban umum, serta hak dan reputasi orang lain.
Menurut Ade, tidak ada kejelasan tujuan yang sah dan hendak dicapai dari maklumat tersebut.
"Apakah untuk mencapai tujuan keamanan nasional, keselamatan publik atau ketertiban umum? Termasuk alasan keharusan untuk melakukan tindakan pembatasan akses konten (necessity), situasi atau pelanggaran HAM seperti apa yang terjadi jika publik tetap mengakses konten yang dimaksud?" kata sejumlah aliansi.
Sehingga, jelas Ade, aliansi menilai Pasal 2d justru tidak memenuhi prinsip proporsionalitas.
Lebih lanjut, dia berpendapat bahwa jika mengacu pada Pasal 40 ayat (2) huruf b UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disebutkan pemerintah berwenang menindak pembatasan akses internet, hanya terhadap konten yang dinilai melanggar hukum.