Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Djoko Tjandra dan Peran Supervisi KPK

Kompas.com - 02/01/2021, 10:54 WIB
Devina Halim,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 21 Oktober 2020. Perpres tersebut diterbitkan setelah lebih dari satu tahun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berlaku sejak 17 Oktober 2019.

Perpres yang merupakan amanat UU KPK itu merinci kewenangan supervisi yang dimiliki KPK. Pada Pasal 3 disebutkan, supervisi dilakukan dalam bentuk pengawasan, penelitian, atau penelahaan. KPK pun dapat mengambil alih perkara korupsi yang ditangani Polri atau Kejaksaan Agung dari hasil supervisi yang dilakukan.

"Berdasarkan hasil supervisi terhadap perkara yang sedang ditangani oleh instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Kejaksaan Republik Indonesia," dikutip dari Pasal 9 Perpres 102/2020.

Baca juga: Jokowi Teken Perpres Supervisi Tipikor, KPK Bisa Ambil Alih Kasus di Polri dan Kejaksaan

Dalam mengambil alih perkara, KPK memberi tahu penyidik dan/atau penuntut umum yang menangani perkara korupsi.

Kemudian, Polri dan Kejagung wajib menyerahkan tersangka dan/atau terdakwa beserta seluruh berkas perkara, alat bukti, termasuk dokumen lainnya paling lama 14 hari sejak tanggal permintaan KPK.

Untuk kriteria pengambilalihan perkara korupsi oleh KPK dari Polri atau Kejagung tertuang dalam Pasal 10A UU KPK.

Baca juga: Jokowi Terbitkan Perpres Supervisi, KPK Sebut Tak Ada Lagi Alasan Kejaksaan dan Polri Tolak Kerja Sama

KPK berwenang mengambil alih apabila laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, proses penanganan tindak pidana korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kemudian, bila penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku sebenarnya, bila penanganan kasus mengandung unsur korupsi, bila penanganan terhambat karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

Terakhir, keadaan lain yang menurut pertimbangan polisi atau kejaksaan membuat penanganan kasus korupsi sulit dilakukan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kasus Djoko Tjandra

Setelah perpres tersebut terbit, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai KPK perlu memulai dengan kasus Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra yang ditangani Polri dan Kejagung.

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, masih ada sejumlah teka-teki yang tersisa dalam kasus tersebut sehingga dibutuhkan peran KPK.

"Jika jawaban yang didapat sekadar normatif atau ada upaya untuk melindungi pihak tertentu, maka selayaknya KPK dapat mengambil alih seluruh penanganan yang ada," ujar Kurnia, Rabu (28/10/2020).

Baca juga: Polri-Kejagung Diminta Kooperatif terhadap Supervisi KPK dalam Kasus Djoko Tjandra

Djoko Tjandra adalah narapidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Ia sempat buron selama 11 tahun sebelum akhirnya ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 30 Juli 2020.

Sebelum ditangkap, Djoko Tjandra sempat membuat heboh karena dapat keluar-masuk Indonesia meski berstatus buronan.

Saat di dalam negeri, Djoko Tjandra mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasus Bank Bali, membuat e-KTP hingga paspor. Kasus pelarian Djoko Tjandra tersebut kemudian ditangani oleh Bareskrim Polri dengan total dua kasus.

Salah satunya menyangkut dugaan korupsi terkait penghapusan red notice di Interpol atas nama Djoko Tjandra. Sementara, Kejaksaan Agung menangani kasus dugaan korupsi terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).

Fatwa MA tersebut menjadi upaya Djoko Tjandra agar dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara dalam kasus Bank Bali.

Supervisi sejak awal

Setelah penangkapan Djoko Tjandra, KPK mengaku telah berkoordinasi dengan Bareskrim Polri terkait penanganan kasus pelarian buronan kelas kakap tersebut.

"Kami terus berkoordinasi dan supervisi penanganan pelarian DT (Djoko Tjandra) oleh Polri. Sejauh ini, Polri sangat terbuka dan mempersilakan KPK untuk terus berkoordinasi," ucap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui keterangannya, Jumat (31/7/ 2020), dikutip dari Antara.

Baca juga: UU KPK Setahun Berlaku, Pimpinan KPK Pertanyakan Perpres Supervisi yang Belum Terbit

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo menuturkan, kegiatan supervisi telah dilakukan dalam penanganan perkara Djoko Tjandra.

"Sudah dilaksanakan supervisi baik dari Mabes Polri maupun kita diundang ke KPK," kata Listyo ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (13/11/2020).

Salah satu kegiatan supervisi yang dimaksud Listyo yakni ketika Bareskrim melakukan gelar perkara untuk kasus red notice Djoko Tjandra pada 14 Agustus 2020.

Baca juga: Jokowi Terbitkan Perpres Supervisi, KPK Harap Koordinasi-Supervisi Semakin Kuat

 

Pihak Bareskrim mengundang KPK untuk mengikuti gelar perkara dan diwakili oleh Deputi Penindakan KPK Karyoto.

Dari gelar perkara tersebut, polisi menetapkan empat tersangka dalam kasus red notice. Dua tersangka diduga sebagai pemberi suap, yakni Djoko Tjandra dan pengusaha Tommy Sumardi.

Sementara, dua jenderal polisi diduga sebagai penerima suap, terdiri dari mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo.

Perkara di Kejagung

Sementara, untuk perkara fatwa MA yang ditangani oleh Kejagung melibatkan seorang jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari. Direktorat Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menetapkan Pinangki sebagai tersangka pada 11 Agustus 2020.

Kemudian, pada 27 Agustus 2020, penyidik Kejagung menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka dalam kasus fatwa MA tersebut.

Belakangan, pada 2 September 2020, mantan politisi Partai Nasdem bernama Andi Irfan Jaya yang ditetapkan sebagai tersangka.

Baca juga: KPK Tidak Ambil Alih Kasus Pinangki jika Kejaksaan Tangani dengan Baik

 

Desakan agar KPK mengambil alih kasus yang melibatkan Jaksa Pinangki juga muncul. Ketika ditanya soal kemungkinan mengambil alih kasus Pinangki, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango justru berharap Kejagung berinisiatif menyerahkan kasus tersebut kepada KPK.

"Saya tidak berbicara dengan konsep pengambilalihan perkara yang memang juga menjadi kewenangan KPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019, tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi tersebutlah yang mau menyerahkan sendiri penanganan perkaranya kepada KPK," kata Nawawi, Kamis (27/8/2020).

Menurut Nawawi, langkah penyerahan itu akan menunjukkan sinergisitas antara Kejagung dengan KPK serta menumbuhkan kepercayaan publik dalam penanganan perkara tersebut.

Menanggapi pernyataan Nawawi, Kejagung menegaskan tak bakal menyerahkan kasus Pinangki kepada KPK.

“Jadi tidak ada yang tadi dikatakan ada inisiatif menyerahkan, tapi mari kita kembali kepada aturan, kita sudah melakukan koordinasi dan supervisi,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung saat itu, Hari Setiyono, di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (27/8/2020).

Baca juga: Usai Gelar Perkara dengan Bareskrim, KPK Belum Putuskan Ambil Alih Kasus Djoko Tjandra

 

Hari kemudian menegaskan penanganan kasus akan dilakukan dengan transparan oleh Kejagung.

Setelah penyidik Kejagung melimpahkan berkas perkara tersangka Pinangki kepada jaksa penuntut umum (JPU) atau disebut pelimpahan tahap I, Kejagung melakukan gelar perkara dengan mengundang KPK.

Selain KPK, Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Bareskrim Polri, serta Komisi Kejaksaan juga diundang dalam gelar perkara terkait rampungnya hasil penyidikan.

Deputi Penindakan KPK Karyoto menuturkan, kehadiran pihaknya dalam gelar perkara pada 8 September 2020 itu merupakan bagian dari tugas supervisi. Karyoto bahkan memuji penyidikan yang dilakukan oleh Kejagung atas kasus Pinangki.

"Apa yang tadi disampaikan atau dipaparkan oleh Jampidsus dan jajarannya, kami sangat apresiasi, sudah sangat bagus, cepat," kata Karyoto di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (8/9/2020).

Karyoto menambahkan, pihaknya bakal terus mengawal kasus tersebut hingga sampai ke persidangan.

Kasus tidak diambil alih

Beberapa hari setelahnya, giliran KPK yang melakukan gelar perkara kasus Djoko Tjandra dengan Polri dan Kejagung di Gedung KPK, Jakarta Selatan, pada 11 September 2020.

Pelaksanaannya dilakukan secara terpisah. Artinya, KPK melakukan gelar perkara dengan Bareskrim Polri terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan Kejagung. Gelar perkara itu juga merupakan bagian dari wewenang koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK.

Setelah melakukan gelar perkara, pimpinan KPK menyatakan pihaknya belum memutuskan mengambil alih penanganan perkara Djoko Tjandra dari Kejagung dan Polri.

Baca juga: Jokowi Sebut Pemberantasan Korupsi Tak Boleh Padam, ICW: Kami Bosan Dengar Narasi Kosong

Keputusan KPK tersebut dikritik oleh ICW yang menilai gelar perkara hanya sebagai pencitraan agar KPK terlihat serius menanggapi kasus Djoko Tjandra.

KPK kemudian menepis anggapan yang menyebut bahwa lembaga antirasuah itu tidak berani mengambil alih kasus Djoko Tjandra dari Polri dan Kejagung.

"Kami menghargai pandangan dari siapapun soal hal tersebut, termasuk tentu dari rekan-rekan di ICW. Namun perlu kami sampaikan bahwa ini bukan soal berani atau tidak berani pengambilan kasus dari APH (aparat penegak hukum) lain," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Senin (14/9/2020).

Ali menegaskan, pengambilalihan kasus dari aparat penegak hukum lain harus berdasarkan ketentuan pada UU KPK.

Minta dokumen

Kini, kasus Djoko Tjandra yang ditangani oleh Polri maupun Kejagung sudah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kegiatan supervisi masih dilakukan oleh KPK. Terakhir, KPK meminta dokumen perkara Djoko Tjandra kepada Polri dan Kejagung.

Nawawi Pomolango sempat menuturkan, pihaknya belum menerima berkas kasus Djoko Tjandra meski sudah meminta dokumen tersebut sebanyak dua kali.

"Tim supervisi telah dua kali meminta dikirimkan salinan berkas, dokumen-dokumen dari perkara tersebut, baik dari Bareskrim maupun Kejagung, tapi hingga saat ini belum kami peroleh," kata Nawawi, Kamis (12/11/2020).

Baca juga: Kasus Jaksa Pinangki, KPK Belum Terima Permohonan Koordinasi dan Supervisi dari Kejagung

Menurutnya, dokumen itu dibutuhkan untuk ditelaah dengan dokumen-dokumen laporan masyarakat lainnya.

Lewat penelahaan itu, Nawawi menuturkan, KPK dapat membuka peluang untuk mengusut dugaan korupsi yang belum disentuh oleh Bareskrim dan Kejagung.

Seminggu kemudian, 19 November 2020, KPK akhirnya menerima dokumen kasus Djoko Tjandra dari kepolisian dan kejaksaan. KPK kemudian meneliti dan menelaah dokumen yang diterima tersebut.

Di samping itu, kegiatan supervisi lainnya yang masih dilakukan KPK adalah mengamati proses persidangan di Pengadilan Tipikor.

"Sejauh ini berdasarkan informasi yang kami terima, tim supervisi masih mencermati fakta-fakta persidangan di PN Tipikor Jakarta Pusat," kata Ali Fikri, Jumat (18/12/2020).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com