JAKARTA, KOMPAS.com - Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan Firli Bahuri disorot.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Komisi Antirasuah kurang menunjukan taringnya selama dipimpin oleh jenderal polisi bintang tiga itu setahun terakhir.
Bahkan, upaya penindakan yang dilakukan KPK untuk menangkap para koruptor pun dinilai merosot.
Berdasarkan catatan ICW, selama tahun 2020, KPK baru melakukan tujuh kali operasi tangkap tangan (OTT). Jumlah itu merosot tajam bila dibandingkan operasi serupa yang dilakukan KPK di bawah kepemimpinan pimpinan sebelumnya.
Pada 2016, misalnya, KPK berhasil melakukan 17 kali OTT. Sedangkan, pada 2017 dan 2018, jumlah OTT yang dilakukan KPK bertambah masing-masing yaitu sebanyak 19 kali dan 30 kali.
Lalu, pada 2019, KPK melakukan 21 kali OTT.
Dengan demikian, jumlah OTT yang dilakukan KPK di bawah kepemimpinan Firli merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Baca juga: Firli: Jangan Bandingkan Kinerja KPK Era Sekarang dengan Sebelumnya
Hal lain yang juga disorot yaitu pada tahun ini KPK hanya melakukan 91 penyidikan, 75 penuntutan dan 108 eksekusi. Padahal, pada periode sebelumnya, KPK melakukan 145 penyidikan, 153 penuntutan, dan 136 eksekusi putusan.
"Jadi seluruh tren penindakan ini memang menurun tajam begitu," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam koferensi pers Evaluasi Satu Tahun KPK yang disiarkan Facebook Sahabat ICW, Rabu (23/12/2020).
Mengenai OTT, Kurnia menyebut KPK masih mempunyai pekerjaan rumah (PR) besar mengenai belum tertangkapnya eks caleg PDI-P, Harun Masiku.
Menurut dia, kegagalan KPK meringkus Harun menjadi indikasi besar betapa menurunnya kinerja penindakan KPK.
Hal itu berbeda jauh ketika pimpinan KPK sebelumnya sukses membawa pulang buronan M Nazaruddin di Kolombia hanya dalam waktu 77 hari.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat Taufik Basari menyebut belum tertangkapnya Harun menjadi catatan hitam tersendiri bagi KPK.
Baca juga: Beberkan Capaian Kinerja KPK 2020, Firli: Realisasi Anggaran Capai 91,7 Persen
"Ada satu catatan hitam di dalam tahun ini terkait dengan kinerja KPK yaitu soal belum ditangkapnya Harun Masiku, saat ini masih berstatus DPO," kata Taufik dalam sebuah diskusi yang disiarkan akun Youtube Biznews TV, Selasa (29/12/2020).
Kurnia pun menilai, KPK masih memiliki tunggakan untuk menyelesaikan sejumlah kasus besar. Setidaknya, ada empat kasus besar yang perlu segera diselesaikan KPK.
Pertama, dugaan korupsi e-KTP yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun. Terdapat dua nama pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang terseret, yakni Irman dan Sugiharto.
Keduanya sempat menyebutkan bahwa sejumlah nama politikus turut menerima aliran uang dalam kasus ini.
Di samping itu, KPK juga belum menerapkan pasal pencucian uang terhadap mantan Ketua DPR, Setya Novanto yang telah dinyatakan bersalah dalam kasus ini.
Kedua, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan terdakwa Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Bahkan, keduanya kini masih berstatus buron. Kasus ini merugiakan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
"Ini pun tindak lanjutnya kita tidak tahu seperti apa," kata Kurnia.
Ketiga, kasus proyek Hambalang yang membuat negara rugi Rp 463,66 miliar sebagaimana laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Baca juga: HUT ke-17 KPK, Firli Bahuri: Intimidasi dan Ancaman Adalah Konsekuensi
Keempat, kasus Bank Century. Kasus ini telah menyebabkan negara mengalami kerugian lebih dari Rp 7 triliun.
Walaupun menuai banyak kritik, KPK justru sempat bangun dari tidur panjangnya setelah menggelar empat OTT besar selama 10 hari terakhir.
Empat OTT besar itu meliputi, OTT Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kasus dugaan suap terkait izin ekspor bibit lobster.
Politikus Partai Gerindra itu ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta pada 25 November 2020, setibanya dari kunjungan kerja ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Dalam kasus ini, Edhy diduga menerima uang hasil suap tersebut sebesar Rp 3,4 miliar melalui PT Aero Citra Kargo dan 100.000 dollar AS dari Direktur PT Dua Putra perkasa (PT DPP) Suharjito.
PT ACK diduga menerima uang dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster karena ekspor hanya dapat dilakukan melalui perusahaan tersebut dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.
Uang tersebut salah satunya dari PT DPP yang mentransfer uang Rp 731.573.564 agar memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster.
Baca juga: Setahun Firli Bahuri: Fenomena Undur Diri Pegawai KPK
Dua hari setelah menangkap Edhy, KPK menangkap Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna dalam operasi tangkap tangan, pada 27 November 2020.
Ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap terkait izin pembangunan penambahan Gedung Rumah Sakit Umum Kasih Bunda Cimahi.
Ajay diduga meminta uang Rp 3,2 miliar kepada pemilik sekaligus RSU Kasih Bunda Hutama Yonathan untuk mengurus izin tersebut.
Berikutnya, KPK menangkap Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo, pada 3 Desember 2020.
Wenny diduga menerima suap dari sejumlah rekanan proyek di Banggai Laut yang jumlahnya telah melebihi Rp 1 miliar selama September-November 2020.
Suap itu diberikan setelah Wenny membuat kesepakatan dengan para rekanan serta mengondisikan pelelangan proyek infrastruktur di Banggai Laut.
Terakhir, KPK menggelar OTT pada 4-5 Desember terhadap sejumlah pejabat Kementerian Sosial.
KPK kemudian menetapkan Menteri Sosial Juliari P Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial Covid-19 Tahun 2020 di wilayah Jabodetabek.
Baca juga: Tumpukan PR Firli Bahuri dkk: Tangkap Harun Masiku hingga Pulihkan Kepercayaan Publik
Ia diduga menerima Rp 17 miliar yang merupakan fee dari perusahaan rekanan proyek pengadaan dan penyaluran bantuan sosial itu.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman mengatakan, empat OTT tersebut menunjukkan KPK masih memiliki taring di tengah keterbatasan akibat revisi UU KPK.
Zaenur menuturkan, dengan revisi UU KPK tersebut, sejumlah kewenangan KPK menjadi terbatas, termasuk dalam hal penyadapan.
"Khususnya kepada pegawainya, di tengah-tengah kewenangannya yang sudah sangat minim dengan dipretelinya kewenangan melalui revisi undang-undang KPK Nomor 19 Tahun 2019, ini merupakan prestasi yang harus diapresiasi dari pegawai KPK," kata Zaenur.
Sementara itu, menanggapi penilaian ICW yang menganggap kinerja Komisi Antikorupsi merosot, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menilai, ICW mengbaikan upaya pencegahan yang telah dilakukan KPK.
Ghufron mengatakan, penilaian ICW tersebut tidak komprehensif karena hanya mengacu pada jumlah penangkapan yang dilakukan oleh KPK.
Baca juga: Sederet Catatan Persoalan Etik Pimpinan KPK dalam Setahun Kepemimpinan Firli Bahuri...
"Dalam pandangan ICW, KPK adalah 'Komisi Penangkap Koruptor' hanya ketika menangkap saja KPK dianggap bekerja dan berprestasi. ICW tidak melihat secara komprehensif kinerja semua lini tugas dan fungsi KPK, ICW mengabaikan kinerja pencegahan KPK," kata Ghufron, Selasa (29/12/2020).
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri tak ingin KPK di bawah kepemimpinannya dibandingkan dengan era sebelumnya.
Mengingat, KPK di eranya bekerja di tengah pandemi Covid-19. Sehingga, kinerja KPK sepanjang 2020 kurang optimal.
"Kami menyadari bahwa 2020 kondisi berbeda dari tahun sebelumnya, sehingga dalam hemat kami tidak elok kalau kita membandingkan apa yang terjadi tahun 2020 dengan tahun sebelumnya," kata Firli yang ditayangkan di kanal YouTube KPK RI, Rabu (30/12/2020).
Baca juga: Kinerja Penindakan KPK Era Firli Dinilai Merosot: Minim OTT, Kasus Besar Tak Tersentuh
Firli mengatakan, pandemi Covid-19 mempengaruhi tata kerja KPK, seperti menerapkan bekerja dari rumah (work from home).
"Tetapi pandemi ini tidak menyurutkan KPK dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.