“Res publica” berdiri di atas dan berlangsung dalam skema kekuatan pikiran manusia. Dengan kata lain, dalam “res publica” manusialah yang berdaulat.
Misalnya pemilihan wali kota pada pilkada yang baru saja berlangsung, merupakan urusan politik yang berpijak pada cara kerja nalar manusia.
Calon wali kota-wakil wali kota tertentu menggunakan kecerdikan dan kelicikannya untuk memenangkan pertarungan politik pemilihan kepada daerah.
Pasangan kepada daerah tertentu memenangi pertarungan merebut suara pemilih karena mereka dan timnya cerdik dan licik. Kecerdikan dan kelicikan adalah modus operandi dari pikiran manusia.
“Res sacra” merujuk pada segala perkara religius, jauh dari hiruk-pikuk dunia keseharian. Segala aktivitas manusia tertuju dan semata-mata tertuju pada Allah yang diimani sebagai “yang kudus” yang sungguh mutlak.
Pada aras ini, aktivitas manusia tidak bertumpu pada kecerdikan dan kelicikan nalar, melainkan pada sikap tunduk dan patuh terhadap kedaulatan mutlak Allah. Posisi manusia dalam “res sacra” adalah pihak yang sepenuhnya di bawah kendali Allah.
Memasukkan sedikit saja unsur kecerdikan dan kelicikan nalar ke dalam “yang kudus” hanya akan menghasilkan noda dan cela.
Baca juga: Potret Toleransi di Mimika, Umat Lintas Agama Ikut Amankan Misa Natal
Peristiwa kelahiran Yesus yang dirayakan oleh penganut Kristen – baik Katolik maupun Kristen – pada momen Natal ini merupakan perayaan atas “res publica” dan “res sacra”.
Kedua hal itu merupakan dua sisi integratif dari diri dan hidup manusia. Yesus yang lahir di Betlehem dan dibaringkan oleh Maria dan Yosef dalam palungan domba, memungkinkan manusia mengerti bahwa “yang kudus” bukan sesuatu yang berjarak dan jauh dari “yang publik”.
Peristiwa kelahiran Yesus juga memungkinkan manusia mengerti bahwa “yang publik” bukanlah hal yang dipertentangkan dengan “yang kudus”.
Peristiwa kelahiran Yesus adalah momen integratif “yang kudus” dan “yang publik”. Manusia dan hidupnya berlangsung dalam selubung “yang kudus” sekaligus “yang publik”.
Disebut momen integratif karena sebagai manusia tidak mungkin hanya memilih salah satu dan menolak yang satu lagi. Yang paling mungkin dijalankan oleh manusia adalah menjalani keduanya sebagai cara berada manusia. Bahkan kedua hal itu merupakan unsur-unsur konstitutif diri manusia.
Integrasi kedua hal tersebut sudah terlalu lama sekali dilupakan oleh manusia. Sepanjang masa pelupaan itu, yang terjadi adalah momen-momen pertarungan: “yang kudus” menaklukan “yang publik” dan sebaliknya, “yang publik” menolak “yang kudus”.
Setiap pertarungan senantiasa melahirkan korban. Manusia pulalah yang menjadi korban. Keadaan dan posisi manusia seperti inilah yang hendak ditebus oleh Yesus.
Dan penebusan secara konkret dimulai pada momen kelahiran Yesus. Penebusan itu memungkinkan manusia paham bahwa cara beradanya mengintegrasikan kedua hal tersebut dalam hidupnya sehari-hari. (Alexander Aur, Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.