Sebuah catatan akhir tahun 2020 oleh Damar Juniarto*
MESKI di pengujung tahun 2020 Pemerintah Indonesia tetap ngotot untuk menggelar pemilihan kepala daerah meski di tengah situasi pandemi Covid-19 yang tidak teratasi dengan baik, tidak membuat wajah demokrasi Indonesia menjadi kebanggaan.
Resesi demokrasi jelas terjadi di Indonesia, seperti yang bisa Anda baca dari The Economist Intelligence Unit yang menunjukkan indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan tiga tahun berturut-turut.
Pada tahun 2016, Indonesia masih menduduki peringkat ke-48 dari 167 negara yang diteliti. Peringkat demokrasi Indonesia turun menjadi 64 pada tahun 2018, dengan skor hanya 6,39 - di peringkat terbawah kategori "demokrasi yang cacat".
Senada dengan itu, laporan IDEA Global State of Democracy Indices (2019) juga menegaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengindikasikan penurunan salah satu aspek ruang sipil, khususnya dalam demokrasi.
Baca juga: Hasil Pilkada 2020, Pesta Demokrasi di Tengah Pandemi
Dalam laporan terbarunya, Freedom House (2020) mencatat bahwa skor Indonesia kembali turun menjadi 61 dan menjelaskan bahwa Indonesia terus berjuang dengan tantangan termasuk korupsi sistemik, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketegangan separatis di wilayah Papua, dan penggunaan politik yang dipolitisasi, problem hukum pencemaran nama baik dan penistaan agama.
Meskipun Larry Diamond (2020) menulis bahwa selama hampir satu setengah dekade terakhir, dunia telah berada dalam cengkeraman resesi demokrasi, tetapi masih meresahkan untuk menemukan kembali demokrasi illiberal dan pemerintahan otoriter.
Berbeda dengan masa resesi demokrasi sebelumnya, di mana tentara atau pemain non-demokrasi lainnya menjadi aktor utama pendorong resesi demokrasi, garda depan kemerosotan demokrasi saat ini adalah politisi populis yang mendapat dukungan luas dari rakyatnya.
Resesi demokrasi ini terlihat dari berbagai tindakan pemerintah. Ada beberapa bentuk yang bisa terjadi, di antaranya:
1. Menindas partai oposisi melalui hegemoni atau pemaksaan (Mietzner, 2016; Power, 2018; Mietzner, 2019; Aminudin, 2020).
2. Menggunakan kriminalisasi untuk menekan kelompok populis Islam (Mietzner, 2018; Power, 2018; Aspinal dan Mietzner, 2019a; Warburton & Aspinall, 2019; David MacRae dkk, 2019; Aspinal, Fossati et al; 2020).
3. Berfokus pada pembangunan infrastruktur dan mengabaikan hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan yang timbul sebagai akibat pembangunan (Warburton, 2016).
4. Memberikan ruang kepada ideologi atau kelompok anti-demokrasi (Bourchier, 2019; Aspinal & Warburton, 2018; Hadiz, 2017; Mietzner, 2019).
5. Membajak institusi negara untuk tujuan kekuasaan (Power, 2018; Mietzner, 2019).
Begitu pula dengan berbagai peristiwa yang terjadi di tahun 2020, seperti pemberlakuan regulasi UU Cipta Kerja dan meningkatnya serangan digital terhadap kelompok kritis yang terjadi di tahun 2020, khususnya 31 insiden di bulan Oktober 2020, melejit dari rata-rata 8 insiden per bulan, semakin memperburuk situasi yang telah disebutkan dalam laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet (2019) dengan munculnya otoritarianisme digital.
Baca juga: Indeks Demokrasi Indonesia Turun dalam Tiga Tahun Terakhir, Ini Respons Bawaslu
Penindasan teknologi dengan tujuan untuk mengalahkan kelompok kritis yang menolak kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan hak sipil terlihat umumnya dalam bentuk pengambilalihan akun WhatsApp dan media sosial, robo-call dari nomor asing, doxing, hacking website, trolling daring dengan mobilisasi dipimpin oleh influencer politik dan dibantu oleh troll farm dan akun-akun bot.
Situasi ini memprihatinkan karena jika media sosial yang digunakan sebagai alat represi (E. Morozov, 2012) semakin meningkat, maka akan mengarah pada kehancuran demokrasi.
Optimisme bahwa kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak-hak sipil di Indonesia mampu berjuang mengatasi situasi ini diperlukan mengingat mereka menyadari delusi demokrasi yang diiming-imingi oleh pemerintahan populis yang telah dibajak oleh kepentingan oligarki tersebut.
Front perjuangan rakyat yang dibangun lintas organisasi dan lintas sektor dengan menggandeng jaringan akademisi kini berupaya membuka mata banyak masyarakat Indonesia dari bahaya yang ada di depan mata, ketika demokrasi diprediksi akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang baik dan tanpa beban tetapi sebaliknya malah mempraktikkan kebijakan publik yang mencerminkan demokrasi illiberal.
Optimisme yang sama juga dibutuhkan di tengah upaya gerakan prodemokrasi di Indonesia yang kini harus berhadapan langsung dengan teknologi komunikasi yang dulunya berperan sentral dalam menumbangkan kediktatoran Soeharto (David T. Hill dan Krisna Sen, 2005), memperkuat gerakan antikorupsi dan gerakan tani, namun kini menjadi ancaman bagi demokrasi, selain ancaman fisik yang mereka hadapi.
Mereka berjuang untuk membuka mata masyarakat Indonesia dari propaganda pemerintah di dunia maya yang telah memanipulasi informasi dengan teknik propaganda komputasi dan jargon kampanye populis yang memutarbalikkan kenyataan seperti yang masih terlihat dalam situasi penanganan Covid-19 hingga merespons pernyataan kemerdekaan Papua Barat pada awal Desember 2020.
Masih belum pasti bagaimana kondisi demokrasi tahun depan, yang jelas sekarang demokrasi di Indonesia akan semakin sulit dipertahankan. (*Damar Juniarto adalah Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), alumni IVLP 2018 Cyber Policy and Online Freedom of Expression)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.