JAKARTA, KOMPAS.com- Sejumlah pihak mendorong agar penyaluran bantuan sosial untuk penanganan pandemi Covid-19 melalui pemberian sembako dikaji kembali karena rentan penyimpangan.
Penyimpangan terkait pemberian bansos dalam bentuk sembako tersebut terkuak dalam kasus dugaan suap yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara.
”Penyaluran bansos dengan model sembako memang rentan penyimpangan. Selain kick back atau fee yang diminta, sering kali besaran bantuan tidak sesuai dengan nominal bantuan yang seharusnya diberikan. Jadi, masyarakat miskin dirugikan berlipat-lipat,” kata Sekjen Seknas Fitra Misbakhul Hasan dikutip dari Kompas.id, Rabu (9/12/2020).
Baca juga: Mensos Ditahan KPK, Sejumlah Yayasan di Tanah Bumbu Kalsel Akan Kembalikan Bansos
Misbakhul menuturkan, bansos sembako juga memiliki kelemahan karena proses pengadannya yang secara langsung membuat vendor yang ditunjuk sering tak kompeten dan mengandalkan suap.
Di sisi lain, pejabat pembuat komitmen tak berintegirtas karena meminta atau mau diberi fee proyek oleh vendor yang ditunjuk.
Misbakhul mengatakan, kasus dugaan korupsi yang menjerat Juliari pun dapat terjadi karena proses pengadaan yang menggunakan penunjukan langsung.
Akibatnya, pihak vendor dan Juliari dapat menegosiasikan fee yang akan disetor. Dalam kasus Juliari, vendor diduga menyetor Rp 10.000 per paket sembako senilai Rp 300.000 per paket.
Senada dengan Misbakhul, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan berharap agar tak ada lagi pemberian bansos sembako dan diubah menjadi pemberian uang tunai.
"Seharusnya (bansos) diberikan secara tunai karena risiko salah terima dan penyelewengan lebih kecil,” kata Pahala.
Menurut Pahala, pemberian bansos secar tunai lebih mudah ditelusuri dan diaudit karena ada jejak transaksinya.
Pihak bank pun dapat mengecek para penerima sehingga potensi salah kirim dapat ditekan.
Namun, pengajar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Airlangga Gitadi Tegas Supramudyo menilai perubahan bansos sembako ke tunai bukan solusi terbaik untuk mencegah korupsi.
"Pemberian bantuan tunai masa lalu juga terjadi pemotongan. Ada dua cara, diberikan penuh, tetapi ada kickback penerima sesuai kesepakatan atau dipotong lewat broker sebagai lembaga jasa yang membantu dan notabene kepanjangan tangan oknum," ujar dia.
Gitadi pun menyarankan agar penyaluran bansos mempertimbangkan tim penyalur bantuan dan disertai penegakan hukum yang tegas.
Seperti diketahui, KPK menetapkan Juliari sebagai tersangka karena diduga menerima uang suap terkait pengadaan bansos Covid-19 sebesar Rp 17 miliar.
Uang tersebut diberikan oleh perusahaan rekanan yang menggarap proyek pengadaan dan penyaluran bansos Covid-19.
Baca juga: Usai Mensos Terciduk KPK, 2 Yayasan di Tanah Bumbu Kembalikan Dana Bansos
Atas perbautannya, Juliari disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain Juliari, KPK menetapkan empat tersangka lain dalam kasus ini yakni Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian I M dan Harry Sidabuke.
Matheus dan Adi merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kementerian Sosial yang diduga turut menerima suap sedangkan Ardian dan Harry adalah pihak swasta yang menjadi tersangka pemberi suap.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.