Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman mengatakan, empat OTT tersebut menunjukkan KPK masih memiliki taring di tengah keterbatasan akibat revisi UU KPK.
Zaenur menuturkan, dengan revisi UU KPK tersebut, sejumlah kewenangan KPK menjadi terbatas, termasuk dalam hal penyadapan.
"Khususnya kepada pegawainya, di tengah-tengah kewenangannya yang sudah sangat minim dengan dipretelinya kewenangan melalui revisi undang-undang KPK Nomor 19 Tahun 2019, ini merupakan prestasi yang harus diapresiasi dari pegawai KPK," kata Zaenur.
Baca juga: KPK Selidiki Kasus Dugaan Korupsi Mensos Juliari Batubara Sejak Juli 2020
Kendati jumlah OTT yang dilakukan menurun drastis bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, menurut Zaenur, empat OTT pada akhir-akhir ini menunjukkan KPK masih punya harapan.
"Ini mengembalikan spirit juang bagi teman-teman di internal KPK dan memberikan sedikit harapan bahwa KPK ini masih memiliki napas juang untuk membasmi korupsi di Indonesia," kata dia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga memberi apresiasi kepada KPK yang dapat bekerja di tengah himpitan langkah penindakan akibat revisi UU KPK.
Namun, ia berpendapat, empat OTT tersebut tidak dapat menjadi alasan bahwa revisi UU KPK memperkuat KPK.
Baca juga: KPK Tangkap Menteri hingga Kepala Daerah, ICW Berharap Seluruh Pimpinan Beri Dukungan
Menurut dia, revisi UU KPK tetap telah melemahkan KPK dengan adanya ketentuan izin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas, serta kemungkinan KPK menghentikan penanganan perkara dengan menerbitkan SP3.
"Intinya, seluruh aspek penindakan yang disinggung dalam UU KPK baru secara terang benderang menyulitkan langkah pegawai KPK," ujar Kurnia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.