JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono mengklaim, anggota Polri tergolong lebih sabar dalam mengamankan unjuk rasa jika dibandingkan dengan aparat kepolisian di negara lain.
Hal itu ia katakan dalam menanggapi dugaan kekerasan oleh aparat dalam sejumlah aksi demonstrasi belakangan ini.
"Di Amerika sendiri, polisi didorong saja sudah luar biasa, sudah melawan penegak hukum, senjata pun dia sudah bisa pergunakan, ditembakkan," kata Awi di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Kamis (3/12/2020).
"Kita sangat-sangat luar biasa, polisi kita masih sabar dalam menghadapi para pedemo selama ini," sambung dia.
Baca juga: Dugaan Kekerasan Aparat Saat Demo UU Cipta Kerja, Polri: Tidak Ada Laporan
Awi mengklaim pihaknya tidak pernah menggunakan senjata api dalam mengamankan aksi demonstrasi.
Begitu juga saat pengamanan demonstrasi menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beberapa waktu lalu.
"Selama ini yang kita kerjakan penanganan demo yang kemarin anarkistis itu, kita masih menggunakan tahap 5. Padahal yang (tahap) 6 itu ada, kita diperbolehkan di sini menggunakan senjata api, tapi kita tidak gunakan," ucapnya.
Tahapan penggunaan kekuatan yang dimaksud Awi tertuang dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Terdapat enam tahap penggunaan kekuatan, di mana tahap pertama adalah pencegahan. Kehadiran polisi serta penyiagaan mobil water cannon serta pasukan masuk dalam tahap ini.
Kemudian, tahap kedua berupa imbauan secara lisan. Tahap ketiga yaitu kendali tangan kosong.
Baca juga: Kontras Catat 20 Aduan Tindak Kekerasan Aparat Saat Demo Selasa Lalu
Tahap berikutnya disebut kendali tangan keras, di mana aparat kepolisian mulai memegang tameng dan tongkat.
Apabila ada eskalasi massa yang mulai melakukan pelemparan dan pembakaran, polisi menjalankan tahap kelima yaitu kendali senjata tumpul, gas air mata, semprotan cabai, atau alat lain sesuai standar Polri.
Terakhir, tahap keenam adalah penggunaan senjata api atau alat lain yang dapat menghentikan tindakan pelaku kejahatan.
Awi mengklaim selama ini pihaknya sudah bekerja secara profesional dan selalu mengacu pada peraturan atau prosedur yang ada.
"Selama ini Polri sudah proporsional dan profesional dalam pengamanan unjuk rasa beberapa waktu lalu terkait omnibus law," ungkap Awi.
Dugaan kekerasan aparat
Kendati demikian, sejumlah pihak menyoroti dugaan kekerasan oleh polisi saat mengamankan aksi demo menolak UU Cipta Kerja.
Amnesty International Indonesia menemukan ada 43 insiden kekerasan yang dilakukan oleh aparat di berbagai daerah pada 6 Oktober hingga 10 November 2020.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, temuan tersebut merupakan hasil verifikasi dari 51 video aksi kekerasan. Verifikasi dilakukan bersama Crisis Evidence Lab dan Digital Verification Corps Amnesty International.
Baca juga: Amnesty: Ada 43 Insiden Kekerasan oleh Polisi dalam Aksi Penolakan UU Cipta Kerja
“Ada sekitar 51 video yang memang kami verifikasi dan menggambarkan setidaknya 43 insiden kekerasan yang secara terpisah dilakukan oleh polisi,” kata Usman, dalam konferensi pers secara daring, Rabu (2/12/2020).
Dari 51 video yang diverifikasi, setengahnya berisi bukti penggunaan tongkat polisi, potongan bambu dan kayu dan bentuk pemukulan lainnya yang melanggar hukum.
Usman mengatakan, hasil verifikasi menunjukkan polisi di berbagai wilayah terbukti telah melakukan pelanggaran HAM. Respons polisi terhadap pengunjuk rasa juga dinilai telah melecehkan kebebasan berpendapat.
Berbagai dugaan kekerasan aparat yang terekam dalam video bahkan dijadikan sebuah kompilasi oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Baca juga: Kontras Sebut Video Kompilasi Dugaan Kekerasan Aparat Bukan Provokasi, tetapi Kenyataan
Dalam video yang diunggah di akun Twitter Kontras disebutkan, gambar dalam video kompilasi adalah rekaman saat aksi menolak UU Cipta Kerja pada 6 hingga 8 Oktober 2020.
Unggahan kompilasi video itu bahkan dituding Polri tendensius dan mendiskreditkan institusi kepolisian.
Namun, Kontras menegaskan, video sudah diverifikasi oleh jaringan mereka di lapangan. Video itu, kata Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, justru untuk menunjukkan kenyataan tindakan polisi saat mengamankan aksi tersebut.
“Untuk memperlihatkan kepada publik bahwa kepolisian hari ini tidak memiliki mekanisme evaluasi yang mumpuni sehingga bentuk-bentuk kekerasan tersebut terus dilegitimisasi oleh pemerintah,” ujar Fatia ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (13/11/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.