JAKARTA, KOMPAS.com - Sehari setelah pandemi Covid-19 genap berlangsung sembilan bulan pada Rabu (2/12/2020), publik dikejutkan dengan catatan rekor tertinggi kasus harian pada Kamis (3/12/2020).
Laporan penambahan kasus Covid-19 pada Kamis (3/12/2020) menjadi sorotan banyak pihak lantaran tercatat 8.369 kasus baru selama kurun waktu 24 jam.
Penambahan kasus baru ini merupakan yang tertinggi selama sembilan bulan pandemi.
Selain jumlah total penambahan kasus baru, pemerintah juga menyampaikan rincian dari mana 8.369 kasus baru Covid-19 itu berasal.
Baca juga: Papua Catat 1.755 Kasus Baru Covid-19, Satgas: Itu Akumulasi
Menurut data pemerintah yang bersumber dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) data itu berasal dari 34 provinsi.
Data yang sama juga mengungkap adanya tiga provinsi dengan penambahan kasus baru di atas 1.000.
Ketiganya adalah Papua (1.755 kasus baru), Jawa Barat (1.648 kasus baru), dan DKI Jakarta (1.153 kasus baru).
Pada Kamis, untuk pertama kalinya Papua menjadi provinsi dengan jumlah penambahan kasus Covid-19 yang tertinggi dari 34 provinsi.
Baca juga: Satgas Sebut Pemerintah Pusat Keliru Sampaikan Data Covid-19 di Papua karena Masalah Sistem
Sebab dari laporan data harian pemerintah selama pandemi, posisi tersebut biasanya ditempati DKI Jakarta atau Jawa Timur.
Sistem pencatatan data belum optimal
Setelah pemerintah menyampaikan laporan data harian Covid-19 dalam bentuk rangkuman dan tabel, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adi Sasmito menjelaskan penyebab tingginya penambahan kasus harian Covid-19.
"Berdasarkan data Kemenkes, pada hari ini terdapat penambahan kasus yang signifikan yakni sebesar 8.369 kasus," ujar Wiku dalam konferensi pers secara daring pada Kamis sore.
Dia lantas menjelaskan bahwa angka 8.369 kasus baru itu disebabkan sistem pencatatan data yang belum optimal.
Sehingga, data penambahan kasus baru tidak seluruhnya bisa dicatat saat itu juga atau real time.
Baca juga: Satgas Sebut Pemerintah Pusat Keliru Sampaikan Data Covid-19 di Papua karena Masalah Sistem
"Angka yang sangat tinggi ini salah satunya disebabkan sistem yang belum optimal untuk mengakomodasi pencatatan pelaporan dan validasi data dari provinsi secara realtime," lanjut Wiku.