Selain itu, lembaga akuntabilitas horisontal yang sering ditunjuk atau didanai oleh pemerintah dapat mengurangi secara intensif dan kapasitas untuk menangani korupsi pemerintah.
Dalam kasus terburuk, lembaga-lembaga ini dapat digunakan untuk menganiaya lawan politik pemerintah, daripada meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Secara normatif, dapat dikatakan bahwa perubahan kecil dalam norma atau perilaku yang ditimbulkan oleh demokrasi tidak cukup untuk menghilangkan pratik korupsi yang massif.
Argumen ini menyiratkan bahwa demokrasi mungkin tak banyak berpengaruh pada penurunan korupsi, bahkan sebaliknya dapat meningkatkan korupsi.
Oleh karena itu sulit untuk menarik kesimpulan tentang efek demokrasi terhadap korupsi. Apalagi, ada negara yang tidak menganut paham demokrasi, ternyata berhasil mengurangi korupsi.
Singapura adalah contoh negara yang relatif tidak demokratis namun berhasil menekan tingkat korupsi tetap rendah. Sebaliknya, negara-negara demokratis seperti Mongolia, Paraguay, Nikaragua, juga Indonesia memiliki tingkat korupsi yang tinggi.
Berbagai studi ekonometrik juga memperlihatkan hasil yang sangat beragam tentang hubungan antara demokrasi dan korupsi. Sejumlah studi melaporkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara keduanya. Namun, ada pula studi yang justru tidak menemukan hubungan yang signifikan.
Efek kausal demokrasi terhadap korupsi dipersulit oleh fakta bahwa demokrasi adalah suatu fenomena sosial yang endogen. Selain itu, mungkin juga ada kausalitas terbalik.
Artinya, korupsi mungkin dapat merusak kepercayaan pemilih terhadap sistem demokrasi, dan karenanya memicu praktik korupsi.
Tapi, hubungan kausal demokrasi dan korupsi kemungkinan besar dipengaruhi oleh variabel ketiga yang sulit untuk diamati atau diukur, yaitu kebudayaan.
Fiona Robertson-Snape (1999) mengemukakan praktik korupsi di Indonesia dihubungkan dengan determinasi kebudayaan, yaitu kebiasaan tradisional orang Nusantara yang gemar menyuap dan membawa upeti untuk mengambil hati para penguasa.
Sejatinya, dari perspektif teoritis, kita dapat berharap demokrasi akan mengurangi korupsi. Demokrasi meningkatkan kemungkinan pejabat yang korup akan diekspos dan dihukum.
Dalam sistem demokrasi, warga masyarakat memiliki inisiatif mengungkap kegiatan korupsi oleh petahana sehingga pemilih menjadi terbuka matanya untuk tidak memilih kembali politisi yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka daripada kepentingan para pemilih.
Demokrasi juga menimbulkan sistem pemerintahan yang lebih terbuka dan terciptanya mekanisme check and balances.
Itu berarti bahwa warga masyarakat berpeluang ikut mengawasi jalannya pemerintahan, sehingga peluang para pengusaha untuk melakukan suap dan gratifikasi guna mendapat proyek dapat dikendalikan.