JAKARTA, KOMPAS.com - Desakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) makin menguat di tengah penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Sebanyak 3.352 surat dari masyarakat dikirimkan kepada Ketua DPR Puan Maharani.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, seluruh surat tersebut merupakan wujud keikutsertaan masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan kehormatan martabat manusia.
"Keikutsertaan mereka (masyarakat) sangat penting," kata Usman, dalam acara audiensi RUU PKS secara virtual, Kamis (26/11/2020).
Baca juga: Desak DPR Sahkan RUU PKS. Amnesty Internasional akan Serahkan 3.352 Surat dari Masyarakat
Usman mengatakan, RUU PKS sangat diperlukan, mengingat angka kekerasan seksual berdasarkan catatan Komnas Perempuan mengalami peningkatan dalam satu tahun terakhir.
"Pada Maret yang lalu, Komnas Perempuan menggarisbawahi sangat tinggi 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pada tahun 2019 atau setahun terakhir Maret 2019-Maret 2020," ujarnya.
Usman berharap DPR dapat menangkap kegelisahan masyarakat dengan mendorong RUU PKS masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
"Kita perlu UU yang kuat dan kita perlu anak-anak kita keluarga kita masyarakat kita, terjaga dari segala bentuk kekerasan seksual," pungkasnya.
Surat untuk Puan Maharani
Dalam audiensi secara virtual tersebut, salah satu surat untuk Puan dibacakan oleh seorang mahasiswi, Maria Risya Maharani.
Surat tersebut berisi permintaan agar pemerintah dan DPR memperhatikan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, serta menyediakan payung hukum yang jelas.
"Kami meminta payung hukum yang jelas, kami merasa aman dan terlindungi. Kami hanya meminta untuk bisa memperhatikan kekerasan seksual yang masih dianggap hal yang tabu," kata Maria, saat membacakan surat.
"Bu (Puan), sebagai sesama perempuan mohon empati sedikit. Ibu masih memiliki hati nurani dan hati lembut sebagai perempuan," sambungnya.
Baca juga: Lewat Surat, Ketua DPR Didesak Sahkan RUU PKS
Maria menyinggung kasus kekerasan seksual yang dialami Yuyun yang masih berusia 14 tahun dan mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.
Maria mengatakan, banyak korban kekerasan seksual tidak mendapatkan perlindungan yang layak dan justru disalahkan.
"Sudah bersusah payah kami bersuara tapi suara kami tidak didengar hingga kini kami sakit hati Bu. Ibu, permintaan kami tidak muluk-muluk kami hanya ingin negara kami aman bagi kita semua, terutama kami perempuan," lanjut Maria.
Pembahasan RUU PKS di DPR
Saat ini RUU PKS diusulkan masuk Prolegnas prioritas 2021. Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas dalam audiensi virtual tersebut mengatakan, seluruh fraksi di DPR telah sepakat.
"Saya ingin sampaikan bahwa semalam semua fraksi sepakat RUU PKS itu Insya Allah akan masuk dalam Prolegnas 2021," kata Supratman.
Baca juga: Baleg DPR Sebut Seluruh Fraksi Sepakat RUU PKS Masuk Prolegnas Prioritas 2021
Tak hanya itu, Supratman memastikan, pembahasan RUU PKS dapat diselesaikan pada 2021 mendatang.
Ia mengatakan, seluruh anggota DPR pasti menangkap kegelisahan masyarakat Indonesia terhadap kekerasan seksual.
"Itu sebagai dukungan, semua anggota DPR baik Bapak maupun Ibu semua memiliki keluarga, saya ada anak perempuan juga. Tentu tidak mau mengalami hal-hal kejadian yang kurang baik. Tentu itu menjadi perjuangan politik kami semua," ucap Supratman.
Ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020
RUU PKS sebelumnya ditarik dari Prolegnas prioritas 2020 dalam rapat evaluasi Baleg DPR dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan DPD RI, pada Kamis (2/7/2020). RUU ini merupakan usulan Komisi VIII DPR.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS sulit dilakukan.
“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).
Baca juga: Polemik Penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020
Marwan menjelaskan, kesulitan yang dimaksud dikarenakan lobi-lobi fraksi dengan seluruh fraksi di Komisi VIII menemui jalan buntu.
Menurut Marwan, pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai pemidanaan juga menjadi perdebatan.
Sikap Komisi VIII mendapatkan kritik dari Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad. Fuad mengatakan, DPR tidak memiliki komitmen politik yang cukup kuat untuk memberikan kepastian hukum bagi korban-korban kekerasan seksual.
"Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban," kata Fuad saat dihubungi, Rabu (1/7/2020).
Baca juga: Alasan DPR Tarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020
Fuad menyatakan, keputusan Komisi VIII DPR sangat mengecewakan mengingat RUU PKS ini sudah sejak lama didesak untuk diseleksi.
Ia pun meminta DPR segera memenuhi janji untuk menyelesaikan RUU PKS sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap korban kekerasan seksual.
"Kami meminta perhatian pimpinan DPR untuk juga memenuhi janjinya untuk menjadikan RUU PKS sebagai bentuk hadirnya negara terhadap korban," tutur Fuad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.