JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra mengingatkan, agar pemerintah menjadikan pelibatan militer dalam pemberantasan aksi terorisme sebagai pilihan terakhir.
Memang, ia mengatakan bahwa ada ketentuan yang dapat melibatkan TNI di dalam pemberantasan teroris. Ketentuan itu diatur di dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Namun dengan catatan, pelibatan itu dilakukan bila kapasitas aparat penegak hukum seperti kepolisian dan lembaga berwenang lainnya sudah dinyatakan tidak mampu dalam mengatasinya.
"Tidak bisa dalam skala yang dikatakan belum terlalu dibutuhkan, tapi kemudian militer malah sudah dilibatkan. Ini jadi problem perdebatan," kata Ardi dalam diskusi daring bertajuk "Catatan Kritis dalam Perspektif Sekuritisasi, Hukum, HAM, dan Legislasi Perpres TNI" Kamis (26/11/2020).
Oleh karena itu, ia mempertanyakan apakah dengan munculnya rancangan peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme itu, aparat kepolisian sudah dainggap tidak mampu menjalankan tugasnya mengatasi aksi terorisme.
Baca juga: Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Tak Boleh Abaikan Prinsip HAM
Menurut dia, pelibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme harusnya bersifat perbantuan. Oleh karenanya, ia mengusulkan pentingnya pemerintah segera menerbitkan UU Perbantuan TNI apabila betul-betul ingin melibatkan TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
Kemudian, pelibatan milter bersifat proporsional dan dalam jangka waktu tertentu atau sementara.
"Jumlah pasukannya juga jelas dan operasinya juga jelas dilakukan di mana. Tidak bisa kemudian secara global di seluruh wilayah Indonesia," terangnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan terkait akuntabilitas dalam sistem peradilan yang akan diterima jika TNI melakukan kesalahan atau pelanggaran dalam mengatasi aksi terorisme.
Untuk itu, Ardi mengusulkan pemerintah dan DPR segera merevisi UU tentang Peradilan Militer agar menjelaskan akuntabilitas atau pertanggungjawaban TNI dalam mengatasi terorisme.
"Kalau kebijakan penanganan terorisme ini sudah ditetapkan sebagai criminal justice system. Kemudian segala bentuk pelanggaran atau proses terhadap penanganannya juga harusnya dilakukan dengan tunduk pada criminal justice system. Jadi tidak boleh ada dualisme," ucapnya.
Sebelumnya, Menkumham Yasonna mengatakan, amanat UU Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa pelibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme diatur lebih lanjut dalam Perpres.
Baca juga: DPR Nilai Kerangka Pelibatan TNI Atasi Terorisme Belum Jelas
Namun, kata Yasonna, sebelum Perpres tersebut dibuat, pemerintah perlu meminta pertimbangan dari DPR RI.
"Ini satu-satunya Perpres yang perlu mendapatkan pertimbangan DPR karena pentingnya substansi di dalamnya. Kami sudah memasukkan draf Perpres ke DPR beberapa bulan lalu dan kami secara resmi telah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR untuk meminta pendapat dan kemudian dihadiri Pimpinan Komisi I dan Komisi III DPR," kata Yasonna.
Yasonna mengatakan, setelah pemerintah mendapatkan masukan dari Komisi I dan Komisi III DPR, meka pemerintah akan membahasnya secara internal.
Tak hanya itu, ia akan menyampaikan kepada Presiden dan mengirimkan surat kepada Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD terkait masukan yang sudah diberikan DPR.
"Kami akan sampaikan kepada Menkopolhukam dan beliau akan mengadakan rapat untuk membahas masukan dari Komisi I dan Komisi III DPR," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.