JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah berusia 20 tahun. Namun, masih banyak kasus pelanggaran HAM berat yang belum juga terselesaikan.
Padahal, banyak pihak berharap UU Pengadilan HAM dapat menjadi pijakan bagi pemerintah dalam menuntaskan kasus.
Baca juga: Komnas HAM: Penegakan HAM Seharusnya Tidak Jadi Perkara yang Sulit bagi Pemerintah
Staf Divisi Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Tioria Pretty mengatakan, sampai saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum dituntaskan.
Dua belas kasus tersebut kini masih dalam tahap penyelidikan oleh Komnas HAM. Sementara tiga pelanggaran HAM berat lainnya sudah dituntaskan.
"Kita bisa lihat ada 15 kasus sejauh ini yang sedang dan telah diperiksa oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sejauh ini ada 12 kasus yang masih di tahap penyelidikan, dan tiga yang sudah diadili," kata Tioria dalam webinar bertajuk Melawan Impunitas: Catatan Kritis 20 Tahun UU Pengadilan HAM, Senin (23/11/2020).
Baca juga: Mantan Jaksa Agung Ini: 3 Hal Ini Akan Terjadi jika Kasus HAM Berat Masa Lalu Tak Diselesaikan
Trioria menuturkan, dua belas kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan yakni Peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Kemudian, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Rumah geudong Aceh 1998, Peristiwa Paniai 2014, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001.
Sementara kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diadili yakni Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Timor Timur dan Peristiwa Abepura.
Belum efektif
Trioria berpendapat, banyaknya kasus yang belum dituntaskan menunjukkan bahwa UU Pengadilan HAM belum efektif memberikan akses atas keadilan bagi korban dan keluarga korban.
"Ini bukan hanya kesimpulan, tapi juga pengalaman yang kita semua bisa saksikan kejadiannya saat ini," ujar Tioria.
Baca juga: Utang yang Tak Kunjung Lunas: Pelanggaran HAM Berat pada Masa Lalu
Menurut Trioria, ada dua faktor yang membuat UU Pengadilan HAM menjadi tidak efektif. Pertama, minimnya minimnya political will atau kemauan politik negara dalam menuntaskan kasus.
Sementara, banyak mekanisme penuntasan kasus dalam UU Pengadilan HAM yang melibatkan proses politik. Ia mencontohkan adanya mekanisme pembentukan pengadilan HAM yang memerlukan rekomendasi DPR.
"Terakhirnya pembentukan pengadilan HAM itu ada di tangan presiden. Jadi kita lihat di sini ada banyak aspek politik yang bermain," ungkapnya.
Baca juga: Kontras Nilai UU Pengadilan HAM Belum Efektif Beri Akses Keadilan
Pokok permasalahan kedua, kata Trioria, adanya celah normatif yang memungkinkan penundaan proses terkait penyelidikan, penyidikan, dan pengadilan secara terus-menerus.
"Oleh karena itu ada peluang solusi, yaitu dengan revisi UU Pengadilan HAM. Setidaknya karena terkait dengan kehendak politik itu di luar hal konkret yang susah untuk kita lakukan saat ini," ucapnya.
Penuntasan kasus
Pada kesempatan yang sama, Jaksa Agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman mengingatkan pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Menurut Marzuki, ada tiga akibat yang terjadi jika negara tidak segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Pertama, kehormatan penegakan hukum akan merosot.
Baca juga: Kontras Catat 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Belum Tuntas
Menurutnya, aturan mengenai hukum bisa sangat disepelekan jika kasus tak kunjung diselesaikan.
"Kehormatan terhadap penegakan hukum akan jauh surut. Rule of law akan sangat disepelekan. Karena tidak ada penyelesaian," ujar Marzuki.
Kedua, Marzuki mengatakan, pencegahan tidak akan terjadi apabila tidak ada efek jera dari proses penyelesaian kasus.
Kemudian, Marzuki menilai, kasus yang tak kunjung diselesaikan bisa menimbulkan adanya tindakan atau gerakan separatisme di Indonesia.
"Ini kita perlu jujur saja bahwa kalau pelanggaran HAM berat ini tidak diselesaikan, maka dalam konteks Indonesia, ini memelihara suatu kondisi adanya aspirasi untuk memisahkan diri dari Indonesia, separatisme," ucap Marzuki.
Bukan perkara sulit
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menilai, upaya penegakan HAM seharusnya tidak menjadi perkara yang sulit bagi pemerintah.
"Apakah penegakannya susah? Sebenarnya tidak susah, seharusnya tidak susah, kalau itu lahir dari kebijakan," kata Anam.
Baca juga: Kemenangan Keluarga Korban Tragedi Semanggi...
Anam menuturkan, kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia cenderung disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Berdasarkan UU Pengadilan HAM, kasus pelanggaran HAM bermula dari suatu kebijakan negara.
Ia menjelaskan salah satu kategori pelanggaran HAM, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilatarbelakangi oleh suatu kebijakan negara. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil.
Menurut Anam, ada sekitar 16 kasus pelanggaran HAM berat yang sedang ditangani Komnas HAM. Seluruh kasus tersebut, kata Anam, lahir dari sebuah kebijakan pemerintah. Dengan demikian, Anam berpendapat seharusnya pemerintah mampu untuk mendorong penuntasan seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
"Kerangka berpikirnya adalah negara masa lalu. Maksudnya sebelum peristiwa itu terjadi, negara tersebut negara yang tidak berdasarkan hukum. Nah sekarang mau menjadi negara yang berdasarkan hukum," tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.