Pihaknya lalu mengundang pihak Kejagung untuk melakukan gelar perkara terkait red notice tersebut.
Meski syarat tak terpenuhi, permohonan penerbitan red notice Djoko Tjandra yang baru tetap dikirim ke Interpol Pusat.
“Walaupun kurang persyaratannya dua yaitu paspor Djoko Tjandra dengan bukti otentik dia meninggalkan Indonesia tidak ada, tapi kami tetap kirim ke Interpol, ini yang tidak pernah diketahui, dipublikasikan ke media,” tutur Napoleon.
Baca juga: Irjen Napoleon: Saya Ditempatkan bersama Penjahat Narkoba, Koruptor, bahkan yang Saya Tangkap
Surat dari Anna Boentaran itu menjadi salah satu rujukan bagi Divisi Hubinter Polri untuk mengirim surat kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham tertanggal 5 Mei 2020.
Surat yang ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo atas nama Napoleon itu menjadi awal mula polemik red notice Djoko Tjandra.
Menurut Napoleon, surat itu hanya pemberitahuan bahwa red notice Djoko Tjandra terhapus oleh sistem Interpol Pusat di Lyon, Prancis sejak Juli 2014.
“Hanya pemberitahuan, bukan permintaan pencabutan DPO atau cekal, tidak ada. Kenapa disikapi demikian?” ungkapnya.
Dalam kasus ini, Irjen Napoleon didakwa menerima uang dari Djoko Tjandra sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 6,1 miliar.
Uang itu diduga diberikan melalui terdakwa lain dalam kasus ini yakni Tommy Sumardi.
Menurut JPU, atas berbagai surat yang diterbitkan atas perintah Napoleon, pihak Imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO).
Djoko Tjandra yang merupakan narapidana kasus Bank Bali itu pun bisa masuk ke Indonesia dan mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020 meski diburu kejaksaan.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan