JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar mengatakan, salah satu modus pelanggaran kampanye melibatkan anak yang mungkin terjadi pada Pilkada 2020 yakni memanipulasi data anak yang belum berusia 17 tahun dan belum menikah.
"Ini biasanya terjadi pada saat daerah-daerah yang mendukung salah satu paslon itu ditinggikan DPT-nya (daftar pemilih tetap)," kata Fritz dalam webinar bertajuk "Mewujudkan Pilkada Ramah Anak di Era Pandemi: Antara Tantangan dan Harapan", Senin (23/11/2020).
Modus kedua, menampilkan anak sebagai bintang utama dari suatu iklan politik.
Baca juga: Bawaslu: Pengawasan Kampanye Media Sosial Butuh Peranan Berbagai Lembaga
Ketiga, menggunakan anak sebagai pengajur atau juru kampanye untuk memilih calon atau pasangan calon tertentu.
Keempat, menggunakan tempat bermain anak, tempat penitipan anak, atau tempat pendidikan anak sebagai tempat kampanye.
Kelima, memobilisasi massa anak oleh partai politik atau calon dan pasangan calon.
Keenam, menampilkan anak di atas panggung kampanye dalam bentuk hiburan. Ketujuh, menggunakan anak untuk memasang atribut-atribut kampanye.
"Itu hal-hal yang kami dapatkan selama proses pengawasan kampanye," ujar dia.
Baca juga: Jelang Pilkada, Bawaslu Khawatir Banyak Pemilih Tak Pakai Masker ke TPS
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) masih menemukan pelibatan anak di Pilkada 2020.
Pelibatan itu meliputi arak-arakan, pelibatan melalui media sosial, hingga datangnya para pasangan calon ke rumah yang di sana terdapat anak di bawah umur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.