JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Selasa (17/11/2020).
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Presiden yang diwakili oleh Dirjen Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Aprijani.
Saat membacakan keterangan presiden, Samuel menyatakan bahwa dalil para pemohon yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama warga Jayapura, Papua Arnoldus Berau tidak tepat.
Sebab, menurut dia, tanpa ada surat keputusan dari pengadilan, para pemohon masih bisa menggunakan hak dengan menggugatkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Menurut pemerintah dalil pemohon tersebut tidak tepat karena objek TUN yang dapat diajukan upaya administratif diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, tidak hanya keputusan tertulis," kata Samuel dalam sidang melalui telekonferensi.
"Mereka juga tindakan administrasi pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 75, Pasal 87 dan penjelasan umum alinea kelima Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan jo Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019," lanjut dia.
Baca juga: Di Sidang MK, Pemohon Beberkan Kerugian karena UU Cipta Kerja
Samuel mengatakan, pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang diduga memiliki muatan yang melanggar hukum.
Hal itu bisa dilakukan karena pemerintah berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari konten yang dilarang.
"Dengan perkataan lain norma tersebut harus dilihat secara utuh dan satu kesatuan dengan Pasal 40 ayat 1, ayat 2 dan ayat 2B undang-undang ITE perubahan," ujar dia.
Adapun AJI bersama Arnoldus Berau menggugat Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ke Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan dokumen permohonan yang diunggah di laman MK RI pada Kamis (23/9/2020), diketahui bahwa pemohon mempersoalkan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE.
Pasal tersebut berbunyi "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."
Pemohon menilai, kewenangan untuk menafsirkan sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum berada di wilayah hakim, bukan pemerintah.
Kewenangan hakim terkait hal ini diatur melalui Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baca juga: Selama 2019, Korban Kriminalisasi UU ITE Terbanyak dari Jurnalis dan Media
Oleh karenanya, menurut pemohon, dengan berlakunya Pasal 40 ayat 2b UU ITE, pemerintah memiliki kewenangan yang terlalu luas.
Pemerintah juga dinilai telah mengambil kewenangan pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus atas tafsir dari informasi dan atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Tidak hanya itu, menurut pemohon, berlakunya Pasal 40 ayat (2b) UU ITE telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kewenangan yang dimiliki pemerintah tersebut juga dianggap menyulitkan publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka berpartisipasi mengawasi pemerintah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.