JAKARTA, KOMPAS.com - Cendekiawan Muslim Nahdlatul Ulama Ulil Abshar Abdalla menilai, di tengah pandemi Covid-19, Indonesia masih bisa menunjukkan satu tren positif ke dunia barat.
Satu yang ia sebut adalah soal Islam dan demokrasi. Menurut dia, antara Islam dan Demokrasi di Indonesia bisa berjalan bersama.
Hal tersebut ia katakan setelah melihat pengalaman yang dimiliki Indonesia paska reformasi.
"Pertanyaan yang menjengkelkan sebenarnya selama ini yang diungkapkan oleh media Barat atau Pandit di Barat itu, selalu pertanyaan yang juga mengandung semacam tuduhan ya bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi," kata Ulil dalam diskusi virtual bertajuk "Nasib Demokrasi di Masa Pandemi" Selasa (17/11/2020).
Baca juga: Demokrasi RI Dinilai Sedang Dikepung Masalah, Ketidakpastian Ekonomi hingga Pandemi
"Nah, Indonesia dengan pengalaman reformasinya, menunjukkan bahwa Islam dan Demokrasi itu bisa coexist," sambungnya.
Ulil juga menjelaskan bahwa dari beragam riset global, sebenarnya Islam tidak memiliki keberatan apapun dengan demokrasi.
Artinya, lanjut dia, penerimaan umat Islam terhadap demokrasi itu cukup tinggi sekali.
Ia juga mengatakan bahwa hal ini sebenarnya sudah terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi di negara global.
Ia juga berpendapat, keseimbangan antara Islam dan Demokrasi ternyata juga ditunjukkan oleh kelompok Islam yang selama ini dianggap membenci demokrasi.
Baca juga: Cendekiawan Muslim: Demokrasi Dinilai Kurang Efektif Genjot Investasi dan Tangani Pandemi
"Misalnya kelompok yang disebut dengan Ikhwanul Muslimin dan kelompok yang terafiliasi dengan gerakan ini di mana-mana. Itu sebenarnya mereka partisipan yang aktif di banyak negara di dalam demokrasi," jelasnya.
Salah satu contoh tokoh Tunisia yang menjadi inspirasi dari Gerakan Ikhwanul Muslimin, kata dia, adalah Rachid Ghannouchi.
Menurut Ulil, Rachid telah menunjukkan bagaimana kelompok Ikhwanul Muslimin menerima demokrasi.
Ia menambahkan, sosok Rachid juga memiliki pemikiran yang baik tentang hubungan antara Islam dan negara.
Baca juga: Wapres: Hambatan Harus Diatasi Umat Islam dalam Pengembangan SDM adalah Cara Berpikir
Sementara itu, sependapat dengan Ulil, pengamat Sosio-Politik Fachry Ali juga mengatakan bahwa berjalan bersamanya Islam dan Demokrasi di Indonesia menunjukkan perubahan politik yang harus dipuji.
Ia pun bercerita bagaimana dirinya sempat mengikuti seminar internasional di Turki pada 2004.
Dari seminar tersebut, kata dia, terbukti bahwa negara-negara di Arab masih susah menerapkan demokrasi.
"Kebetulan waktu itu saya ikut di kelompok negara-negara Arab. Nah, pada saat mendengar di headphone, mereka bilang bahwa di Arab itu sangat susah muncul demokrasi, karena suku-suku yang masih kuat sekali," terang dia.
Setelah mendengar apa yang disampaikan kelompok negara-negara Arab tersebut, lantas dirinya membandingkan kejadian dengan yang ada di Indonesia.
Baca juga: Ini 3 Tantangan Global yang Harus Dihadapi Umat Islam Dunia Menurut Ma’ruf Amin
Ia menjelaskan, Islam dan Demokrasi di Indonesia terbukti berjalan bersama. Hal tersebut dibuktikan dari adanya pimpinan gerakan Islam yang bukan dari daerah asal tempat berdirinya kelompok.
"Misalnya NU, walaupun tumbuh di Jawa Timur, tetapi pernah dipimpin oleh Idham Chalid yang berasal dari Kalimantan Selatan. Lalu kemudian Din Syamsuddin, walaupun Muhammadiyah tumbuh di Yogyakarta dan Surakarta, tetapi Din dari sebuah wilayah di NTB dan muncul jadi pemimpin," ucapnya.
Untuk itu, ia berpendapat jika Islam di Indonesia sudah menerapkan tradisi demokrasi mendahului lahirnya negara bangsa.
"Contohnya kan Muhammadiyah lahir 1912 dan NU lahir 1926. Kelahiran mereka itu mendahului negara bangsa, dan tentu saja mendahului sistem politik ekonomi yang sekarang kita sebut demokrasi," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.