KIRANYA ketika rancangan undang-undang omnibus law atau Cipta Karya ini disahkan pada 5 Oktober lalu, ada banyak gagasan menjadi post-pactum dan terluka.
Post-pactum karena undang-undang bagaimanapun telah disahkan. Upaya memberikan masukan perbaikan kurang berarti andaikan ia belum disahkan.
Terluka karena reaksi publik atas kehadiran undang-undang ini telah sedemikian ekstrem. Terjadi perusakan fasilitas publik dan negara oleh kaum anarkis.
Aparat keamanan pun bereaksi cukup keras, melibas siapa saja dan menyamakan kaum demonstran dengan kelompok anarkis, sehingga terluka dan menanggung perih yang tak biasa.
Kita melihat bagaimana undang-undang ini telah mengangkangi proses demokrasi secara sangat telanjang.
Keterburu-buruan mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi 5 Oktober – dengan mengambil dalih penanda dan mitos hari TNI – telah menjadi prahara sosial-politik.
Aksi penolakan dan protes terhadap undang-undang ini masih berlangsung. Belum lagi dokumen UU Cipta Karya yang disahkan masih menyimpan misteri, dokumen manakah yang dianggap resmi dari 1028, 1035, 812, dan kini menjadi 1.187 halaman!
Permasalahan tebal-tipisnya dokumen ini saja sudah menjadi penanda kesemrawutan dan belum tuntas in re atas proses legislasi itu.
Bahkan disinyalir ada kesalahan redaksi fatal yang menunjukkan pola ugal-ugalan dalam merumuskan UU penting ini (Kompas.com, 3/11/2020).
Pertama, perubahan waktu itu mirip upaya mengelabui publik dan fraksi di parlemen yang belum menyetujui RUU.
Dalam konteks demokrasi, pengelabuan atas keinginan dan hasrat ingin tahu publik terhadap undang-undang adalah cacat demokrasi.
Prinsip demokrasi adalah transparansi dan hak untuk mendapatkan informasi layak. Kedua hal itu absen untuk tidak mengatakan sangat minimalis terealisasi dalam proses pengundang-undangan RUU ini.
Bahkan pada rapat paripurna, peserta tidak mendapatkan dokumen final yang akan disahkan.
Kedua, dalam sistem presidensial dan demokrasi komunitarian/Pancasila, ketidaksetujuan Partai Demokrat dan PKS hingga walk out atas pengesahan undang-undang ini bisa dianggap sebagai gagalnya kemufakatan dalam berlegislasi.
Tugas pimpinan DPR seharusnya menunda dan tidak terburu-buru mengesahkan menjelang tengah malam. Politik tengah malam juga menunjukkan ketakutan untuk membuka kembali lembaran argumentasi dan keuletan berdiplomasi, ciri khas demokrasi di parlemen.