JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dinilai perlu mengedepankan upaya penegakan supremasi sipil dan Hak Asasi Manusia ( HAM).
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Edmon Makarim menyatakan, keberadaan supremasi sipil dan HAM harus mendapat perhatian guna mencegah peristiwa yang tidak diinginkan ketika Raperpres tersebut dijalankan.
"UU tentang TNI dan UU mengenai penghargaan terhadap HAM dinyatakan ada penghargaan supremasi sipil, maka dengan sendirinya protap yang harus dijalankan TNI tentu harus menghargai itu (supremasi sipil dan HAM)," ujar Edmon dalam webinar "Peran TNI Mengatasi Aksi Terorisme dalam Menjaga Kedaulatan NKRI' yang digelar Sekolah Tinggi Hukum Militer", Rabu (11/11/2020).
Edmon menuturkan, Raperpres tersebut pada dasarnya sudah memberikan ruang penghargaan terhadap supremasi sipil dan HAM karena merujuk pada UU.
Akan tetapi, hal itu tetap perlu mendapat perhatian supaya bisa memberikan penguatan terhadap supremasi sipil dan HAM.
Baca juga: Fungsi Penangkalan Perpres TNI Atasi Terorisme Disebut Tak Ada di UU
Edmon menyebut, salah satu penguatan supremasi sipil dan HAM itu bisa dilakukan dengan melibatkan Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurutnya, selain atas dasar perintah Presiden, pengerahan kekuatan militer juga perlu mendapatkan pertimbangan dari MA dan Kejagung.
Hal itu dilakukan supaya ada jaminan perlindungan hukum pada saat pengerahan militer dilakukan.
"Untuk memastikan apa yang sudah diputuskan Presiden itu sudah sesuai HAM," kata dia.
Adapun Raperpres ini menempatkan Presiden menjadi panglima tertinggi dalam menentukan pelibatan militer menumpas aksi terorisme.
Hal itu tercantum di dalam Pasal 8 Ayat (2) yang menyebutkan, "Penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud Ayat (1) dilaksanakan Panglima berdasarkan perintah Presiden".
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, rancangan perpres tentang pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme sudah disampaikan ke Memkumham Yasonna H Laoly.
Selain itu, rancangan tersebut juga telah disampaikan kepada DPR.
"Sudah disampaikan ke DPR dan sudah saya sampaikan ke Menkumham. Menkumham sudah mendiskusikan, mendengar semua stakeholders," ujar Mahfud MD, Sabtu (8/8/2020).
Menurut Mahfud, pihaknya akan membatasi agar rancangan tersebut nantinya tidak melanggar batas-batas tertentu saat diterapkan.
Baca juga: Perpres TNI Atasi Terorisme Dinilai Nihil Kerangka Criminal Justice System
Sejumlah poin di dalam Raperpres tersebut menjadi sorotan publik. Salah satunya mengenai nihilnya kerangka criminal justice system atau sistem peradilan pidana yang mengatur penegakan hukum pidana.
Peneliti HAM dan Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan bahwa aksi terorisme pada dasarnya masuk dalam domain tindak pidana.
Hal itu berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
Karena itu, kata dia, penegakan hukum terorisme sudah semestinya tunduk terhadap sistem peradilan umum.
"Namun, dalam Raperpres ini justru tidak ada pengaturan dan penegasan kerangka criminal justice system di dalam pelibatan TNI mengatasi aksi terorisme," terang Ikhsan dalam diskusi bertajuk ' Pelibatan TNI dalam Penanganan Kontraterorisme', Rabu (11/11/2020).
Selain merujuk UU, aturan mengenai kedudukan TNI juga diatur di dalam TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
Baca juga: Tak Ada Batasan Eksplisit, Lemhannas: TNI Berpeluang Terlibat Atasi Terorisme
Pada Pasal 3 Ayat (4) disebutkan (a) prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum; (b) apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud Ayat (4) huruf a pasal ini tidak berfungsi, maka prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan UU.
Merujuk aturan tersebut, Ikhsan menegaskan bahwa TNI mempunyai keterikatan terhadap hukum sipil.
"Jadi kalau TNI melakukan tindak pidana di ranah sipil, mereka itu tunduk ke hukum sipil," tegas dia.
Selain itu, poin yang menuai kritik adalah berkaitan dengan fungsi penangkalan TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
Fungsi penangkalan tertera dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf (a) (Raperpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Fungsi penangkalan kemudian dipertegas pada Pasal 3 mengenai pelaksanaan oleh TNI meliputi (a) kegiatan dan/atau intelijen; (b) kegiatan dan/atau operasi teritorial; (c) kegiatan dan/atau operasi informasi; dan (d) kegiatan dan/atau operasi lainnya.
Akan tetapi, fungsi penangkalan ini disebut tidak dikenal di dalam UU Nomor 5 Tahun 2018.
"Fungsi penangkalan tidak dikenal di UU Nomor 5 Tahun 2018. Pasal 43 huruf (a) UU tersebut hanya menggunakan istilah pencegahan," kata Ikhsan.
Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Skala Rendah dan Sedang Dimungkinkan, tapi..
Ikhsan juga menyoroti penggunaan frasa "kegiatan dan/atau operasi lainnya" sebagaimana Pasal 3 huruf (d) Raperpres tersebut.
Menurutnya, penggunaan frasa tersebut memiliki pemaknaan, bahwa TNI bisa memperluas fungsi penangkalan.
"Frasa 'kegiatan dan/atau operasi lainnya' semakin memperluas pelaksanaan fungsi, ini tanpa akuntabilitas yang jelas," kata dia.
Selain itu, Ikhsan menyebut Raperpres ini juga berpotensi terjadinya tumpang tindih dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Sebab, Pasal 7 Raperpres tersebut menyebutkan, bahwa selain melakukan penangkalan, TNI juga melakukan pencegahan tindak pidana terorisme.
Padahal, kegiatan penangkalan merupakan bagian dari tugas BNPT sebagaimana Pasal 43 huruf (f) dan huruf (g) UU Nomor 5 Tahun 2018.
Untuk itu, kata Ikhsan, fungsi pencegahan sebaiknya dikerjakan badan negara yang mempunyai kompetensi, misalnya BNPT.
"Termasuk melakukan kerja-kerja rehabilitasi dan rekontruksi oleh Kementerian Agama, BPIP, Kementerian Pendidikan, dan lembaga lainnya," terang dia.
Baca juga: Kepala BPHN Minta Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Segera Dilahirkan
Sementara itu, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional ( Lemhannas) Letjen (Purn) Agus Widjojo menuturkan, ada peluang untuk TNI dapat terlibat dalam mengatasi aksi terorisme.
Menurutnya, peluang itu terbuka karena belum ada penjelasan eksplisit mengenai batasan peran TNI dan Polri dalam mengatasi aksi terorisme.
"Belum adanya batasan yang tegas dan eksplisit tentang peran TNI dan Polri dalam kontraterorisme memberi peluang menentukan ketegasan batas kewenangan. Jadi gini, harus perlu kita tegaskan, (batasan peran) itu belum ada," ujar Agus.
Selain itu, Agus menilai, peluang itu juga berangkat dari adanya pengertian bahwa terorisme mencakup aspek nasional dan internasional.
Adapun definisi terorisme sendiri adalah sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Definisi terorisme tersebut berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
Baca juga: Raperpres Tugas TNI Atasi Terorisme Diminta Hargai Supremasi Sipil dan HAM
Merujuk pengertian itu, Agus menyebutkan, memberi pemahaman bahwa ancaman terorisme pada aspek nasional dan internasional tidak bisa dipisahkan.
"Ancaman terorisme tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari dalam atau luar negeri," kata dia.
Namun demikian, Agus mengakui adanya kendala yang dapat menghambat TNI terlibat dalam kontraterorisme.
Misalnya, adanya kalangan yang masih terbelenggu dalam tatanan dwifungsi ABRI masa lalu.
"Setelah reformasi, masih terdapat kalangan TNI yang berasumsi bahwa Indonesia dengan doktrin TNI bersifat unik dan mempunyai peran tetap sebagai penjaga bangsa, serta menganggap tatanan dwifungsi masa lalu tetap berlaku," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.