JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah banyaknya perkara pengujian undang-undang yang bergulir di Mahkamah Konstitusi, enam hakim MK dianugerahi tanda kehormatan bintang mahaputera oleh Presiden Joko Widodo.
Hal ini dikhawatirkan mengganggu independensi para hakim. Apalagi, belakangan banyak pihak yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang penuh kontroversi, misalnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun begitu, kekhawatiran ini dibantah baik oleh pihak Istana maupun MK.
Penganugerahan tanda kehormatan bintang mahaputera kepada enam hakim MK diberikan Jokowi di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (11/11/2020).
Tiga dari enam hakim disematkan gelar bintang mahaputera adipradana. Ketiganya yakni Arief Hidayat yang menjabat sebagai Ketua MK 2015-2018 dan hakim konstitusi 2018-2023.
Kemudian Anwar Usman yang menjabat sebagai Ketua MK 2018-2021, serta Aswanto yang merupakan Wakil Ketua MK 2018-2021 dan hakim konstitusi 2019-2024.
Baca juga: Enam Hakim Konstitusi Dianugerahi Gelar Bintang Mahaputera oleh Jokowi, Ini Rinciannya
Sementara, tiga hakim lainnya dianugerahi gelar bintang mahaputera utama. Mereka adalah Wahiduddin Adams yang menjabat sebagai hakim konstitusi 2014-2019 dan 2019-2024. Lalu,
Selanjutnya, Suhartoyo yang merupakan hakim konstitusi 2015-2020 dan 2020-2025. Terakhir, Manahan M.P. Sitompul hakim konstitusi 2015-2020 dan 2020-2025.
Penganugerahan bintang mahaputera kepada enam hakim MK dilakukan bersamaan dengan pemberian tanda kehormatan kepada 65 pejabat negara/mantan pejabat negara Kabinet Kerja 2014-2019 serta ahli waris dari para tenaga medis dan tenaga kesehatan yang gugur dalam menangani Covid-19.
Tanda kehormatan ini diberikan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 118 dan 119/TK/TH 2020 tertanggal 6 November 2020.
Pakar hukum tata negara pada Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat, tanda kehormatan tersebut idealnya diberikan kepada hakim konstitusi yang sudah tidak menjabat, bukan hakim aktif.
"Menurut saya tidak ada masalah memberi hakim penghargaan cuma waktu saja tidak tepat. Sebaiknya penghargaan diberikan pada saat pensiun untuk menghindari konflik kepentingan," kata Feri saat dihubungi, Rabu (11/11/2020).
Saat ini, ia menambahkan, MK tengah menangani permohonan judicial review sejumlah undang-undang yang dinilai kontroversial di tengah masyarakat, seperti UU Cipta Kerja dan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Oleh karena itu, menurut Feri, pemerintah dan MK seharusnya dapat sama-sama menjaga independensi hakim konstitusi serta mencegah adanya konflik kepentingan. Sebab, ia khawatir, pemberian tanda kehormatan ini justru akan mengganggu independensi itu.
Baca juga: Bintang Mahaputera untuk 6 Hakim MK Dikhawatirkan untuk Amankan UU Cipta Kerja
"Pemberi dan penerima (bintang mahaputera) harus menjaga konflik kepentingan yang mungkin dibaca orang-orang berbeda," ujar Feri.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan. Menurut dia, penganugrahan bintang mahaputera pada enam hakim MK bisa menimbulkan tafsir sebagai bentuk pengkondisian judicial review UU Cipta Kerja.
"Ini bagian dari pengkondisian dari kemungkinan ada JR (uji materi) di MK. Jadi membaca itu memang seperti itu," kata Asep kepada Kompas.com, Rabu (11/11/2020).
Ia menilai, pemberian tanda jasa ini tidak lepas nuansa politis dan balas budi. Di satu sisi, saat ini banyak pihak yang tengah mengajukan uji materiil dan uji formil UU Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR diduga memiliki kepentingan untuk menjaga UU ini.
Di sisi lain, pemerintah dan DPR baru saja mengesahkan perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
"Jadi tafsir itu tidak salah. Bahwa ini ada kaitannya dengan pengharapan pemerintah dan DPR untuk menjaga Undang-Undang Cipta Kerja ini," ucap dia.
Semetara itu, Istana dan MK sama-sama menepis anggapan itu. Juru Bicara MK Fajar Laksono mengklaim, pemberian bintang mahaputera ke enam hakim konstitusi tidak akan mempengaruhi independesi.
"Tidak ada kaitannya secara dengan pelaksanaan fungsi dan kewenangan MK pasca penganugerahan," kata Fajar kepada Kompas.com, Rabu (11/11/2020).
"Peristiwa apa pun insya Allah tidak akan memengaruhi kejernihan hati serta pikiran dan kemerdekaan hakim konstitusi dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya," kata dia.
Baca juga: Pemberian Bintang Mahaputera kepada Hakim MK Dikhawatirkan Ganggu Independensi
Fajar mengatakan, ihwal tanda kehormatan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Siapapun yang sudah dianggap layak dan memenuhi syarat bisa dianugerahi bintang mahaputera.
"Penghargaan tanda kehormatan semacam itu setidaknya justru membuktikan bahwa hakim konstitusi yang menerima penghargaan tersebut diakui secara objektif oleh negara," kata Fajar.
"Berjasa telah dan sedang menjalankan kewenangan dengan sebaik-baiknya dan selurus-lurusnya, termasuk dalam menjaga independensinya," imbuh dia.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian menyebut, penganugerahan tanda kehormatan kepada enam hakim MK tak akan menyebabkan konflik kepentingan.
Ia mengatakan, tanda kehormatan itu murni diberikan kepada keenam hakim lantaran telah berkontribusi bagi bangsa dan negara.
"Saya kira tidak ada konflik kepentingan apa-apa. Ini murni penghargaan terhadap darma bakti keenam hakim MK itu bagi bangsa dan negara," kata Donny kepada Kompas.com, Rabu (11/11/2020).
Baca juga: Enam Hakim MK Dapat Bintang Mahaputera, Istana: Jangan Dikaitkan Politik
Donny pun meminta agar tak ada yang menafsirkan penganugerahan tanda kehormatan ini terlampau jauh, apalagi dikaitkan dengan politik.
"Jangan ditafsirkan terlalu jauh apalagi dikaitkan dengan politik," tuturnya.
Menurut Donny, gelar bintang mahaputera diberikan pada enam hakim konstitusi melalui mekanisme yang panjang dengan berbagai pertimbangan.
Ia mengklaim, pertimbangan tersebut dilakukan secara objektif dan profesional. Menurutnya, tak ada pertimbangan politik atau pertimbangan di luar profesionalisme dan objektivisme.
Penganugerahan tanda kehormatan ini pun diyakini tak akan mempengaruhi kinerja hakim, termasuk dalam menangani pengujian Undang-undang Cipta Kerja yang kini tengah bergulir di MK.
"Tidak ada pengaruh apa-apa sedikit pun," ucap Donny.
Adapun, saat ini ada sejumlah perkara pengujian undang-undang yang masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), di antaranya pengujian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Gugatan tersebut dilayangkan oleh berbagai pihak, salah satunya kalangan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) versi Andi Gani Nena.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, gugatan pihaknya dilayangkan pada Selasa (3/11/2020).
Baca juga: Jubir MK: Pemberian Bintang Mahaputera ke Hakim Konstitusi Tak Pengaruhi Independensi
"Pendaftaran gugatan JR UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 sudah resmi tadi pagi di daftarkan ke MK dibagian penerimaan berkas perkara," kata Said melalui keterangan tertulisnya, Selasa pagi.
Sejak UU Cipta Kerja disahkan, masif terjadi penolakan dari berbagai kalangan hingga menimbulkan demonstrasi yang berujung pada kerusuhan.
Saat itu, para pejabat negara, pimpinan DPR hingga Presiden Joko Widodo mendorong agar masyarakat yang kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja mengajukan pengujian UU tersebut ke MK.
"Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Jadi, kalau masih ada yang tidak puas dan menolak silakan diajukan uji materi ke MK," kata Jokowi, Jumat (9/10/2020).
Selain Cipta Kerja, di MK juga tengah bergulir perkara pengujian sejumlah undang-undang kontroversial lainnya seperti UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.