JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata Negara Bivitri Susanti menyoroti anggapan pemerintah yang melihat salah ketik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tengan Cipta Kerja hanya kesalahan administrasi belaka.
Menurut dia, pandangan pemerintah yang terkesan meremehkan kesalahan dalam UU Cipta Kerja justru dapat mengerdilkan makna proses legislasi.
"Proses legislasi itu bukan sekadar urusan administrasi, tetapi perwujudan konkrit demokrasi perwakilan," kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Selasa (10/11/2020).
Baca juga: Berbagai Kelalaian yang Membuat Proses UU Cipta Kerja Dinilai Ugal-ugalan...
Oleh karenanya, ia melihat ada moralitas demokrasi yang tercederai dari pernyataan pemerintah tersebut.
Bivitri menjelaskan, kesalahan yang terjadi dalam UU Cipta Kerja bukan merupakan salah ketik atau typo, melainkan kesalahan rujukan yang bermakna fatal.
"Dia akan mempengaruhi implementasi. Kalau rujukannya tidak ada, bagaimana bisa digunakan?" kata dia.
Bivitri mengambil contoh salah ketik rujukan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Salah ketik rujukan ini, menurutnya mirip dengan apa yang terjadi pada Pasal 6 UU Cipta Kerja yang dianggap pemerintah sebagai kesalahan administrasi.
Baca juga: Mekanisme Distribusi II untuk Perbaiki UU Cipta Kerja Dinilai Keliru, Ini Alasannya
Kala itu, yang dipermasalahkan adalah frasa "sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83" dalam Pasal 116 Ayat (4) UU Pemda.
"Pasal Salah Rujuk" itu pun diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan juga oleh MK permohonan pengujiannya.
Akhirnya, dalam putusan tersebut, MK membatalkan frasa "sebagaimana dimaksud Pasal 83 dalam Pasal 116 Ayat (4) UU Pemda dan menyatakan bahwa frasa itu harus dibaca "sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80".
"Yang mengajukan orang Bawaslu karena banyak mendapat keluhan dari Panwaslu yang tidak bisa menindak pelanggaran pilkada karena rujukan pasalnya salah," ucap Bivitri.
Sebelumnya, lanjut dia, Bawaslu sudah pernah complain ke Menteri Sekretaris Negara, tetapi tidak mendapat respons.
"Bedanya dengan UU Ciptaker, masalahnya baru ketahuan beberapa tahun kemudian. Jadi jangan dikerdilkan seakan-akan ini urusan administrasi. Dalam hukum, suatu pasal harus diterapkan dengan ketat sesuai bunyinya," kata dia.
Baca juga: Istana Sebut Salah Ketik di UU Cipta Kerja Hanya Masalah Administrasi
Oleh karena itu, kata Bivitri, para pengamat hukum harus belajar metode-metode penafsiran saat belajar hukum.
Hal ini agar para pengamat hukum tidak asal-asalan atau sembarangan dalam menerapkan pasal.