Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merespons Kajian Potensi Tsunami, FKIP UNS Kupas Soal Mitigasi Bencana lewat Webinar

Kompas.com - 08/11/2020, 13:57 WIB
Maria Arimbi Haryas Prabawanti,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com– Kajian mengenai potensi tsunami 20 meter di Selatan Jawa yang dilakukan oleh peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) masih jadi pembicaraan hangat untuk sebagian masyarakat.

Sayangnya, kajian yang seharusnya dapat membuat masyarakat menjadi lebih waspada dan sigap itu justru direspons dengan kecemasan. 

Baca juga: BMKG: Potensi Tsunami 20 Meter untuk Dorong Mitigasi, Bukan Picu Kepanikan

Merespons hal itu, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Geografi Universitas Sebelas Maret (UNS) menggelar webinar yang mengupas pentingnya mitigasi bencana, Sabtu (7/11/2020). Hal ini dilakukan sebagai upaya mengedukasi masyarakat agar tidak lagi panik dengan hasil kajian sebelumnya. 

Dosen Pendidikan Geografi UNS Setya Nugraha memaparkan dalam webinar itu bahwa mitigasi bencana dibagi menjadi tiga jenis. Seluruhnya harus menjadi pengetahuan masyarakat. 

"Pertama, perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yg berdasarkan pada analisis risiko bencana. Kedua, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan. Lalu ketiga, penyelenggaraan pelatihan, penyuluhan modern atau mitigasi struktural," ujarnya dalam webinar bertajuk 'Enigma Potensi Megathrust Tsunami di Pesisir Selatan Pulau Jawa serta Upaya Mitigasinya'.

Setya menilai, dari ketiga jenis mitigasi tersebut, cara yang paling tepat dan mudah diterima masyarakat adalah mitigasi nonstruktural.

Baca juga: Masyarakat Diminta Ikut Turun Tangan untuk Lakukan Mitigasi Bencana

Sebagai informasi, mitigasi nonstruktural adalah upaya dalam mengurangi risiko bencana dengan cara memodifikasi perilaku manusia atau proses alam tanpa memerlukan struktur teknis.

“Dengan menggunakan cara tersebut, maka masyarakat akan sadar dan lebih siap (jika ada bencana). (Hal ini) mengingat lokasi Indonesia yang memang berada di daerah rawan bencana,” tuturnya.

Adapun edukasi mengenai mitigasi bencana itu, kata Setya, sudah harus dimulai pelatihannya untuk masyarakat dari usia dini. Misalnya, dimulai dari penyelenggaraan pelatihan pada pelajar.

Tujuannya adalah menanamkan insting bahwa mitigasi bencana ini merupakan hal yang perlu.

“Dengan begitu, masyarakat tahu dan sadar bahwa Indonesia memang berada di lokasi yang rawan terjadi bencana alam termasuk tsunami (sejak dia masih menjadi pelajar),” ujarnya.

Informasi lain yang juga dipaparkan oleh Setya dalam kesempatan itu adalah kesiapan menghadapi bencana dengan skema mitigasi 20-20-20 yang dikembangan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). 

Baca juga: BMKG: Skema Mitigasi 20-20-20 Masih Relevan untuk Mitigasi Tsunami Selatan Jawa

"Menggunakan rumus 'Serba 20' tersebut, masyarakat diimbau untuk waspada jika gempa bumi berlangsung di pesisir lebih dari 20 detik atau lebih," ujarnya. 

Kemudian, jika gempa itu terjadi, masih ada 20 menit bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri.

“Jika sudah, masyarakat diimbau untuk mencapai tempat yang lebih tinggi 20 meter dari wilayah terendah pantai,” jelas Setya Nugraha.

Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Penelitian (Puslit) Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan, pentingnya para praktisi untuk terus mengedukasi masyarakat melalui komunikasi sains yang sederhana. Misalnya, mengaitkannya dengan budaya yang telah mengakar di masyarakat semata-mata agar tidak terjadi disinformasi. 

“Cara ini dipakai agar informasinya lebih mudah diterima masyarakat,” tutur Eko.

Masyarakat di Indonesia, bagi Eko memang beragam. Ada hal-hal yang masih menjadi kepercayaan dan membudaya, seperti beberapa daerah yang masih mengkaitkan gempa besar dan tsunami dengan Poseidon dan Dewa yang ada di laut.

Baca juga: Lagu Pelangi sampai Legenda Nyi Roro Kidul demi Mitigasi Bencana

Pola komunikasi sains akan menjadi dasar sebagai penguat legenda yang beredar di masyakat. Dengan begitu, masyarakat akan memiliki pemahaman yang benar. Mereka juga akan merasa budaya yang dipercayainya memang punya bukti nyata.

“Contohnya, bencana tsunami yang digambarkan dalam serat Sri Nata dalam Babad Tanah Jawi,” sambungnya.

Eko menjelaskan, terjadinya gempa di pantai selatan Jawa telah digambarkan melalui syair sebuah tembang atau lagu dalam babad tersebut. Hal itu memang sudah dipercaya masyarakat juga.

Toya minggah ngawiyat .Apan kadya amor mina toyanipun. Semana datan winarna Ratu kidul duk miyarsi. Artinya, air naik ke angkasa. Bahkan, seperti bercampur dengan ikan airnya. Pada saat itu tidak dikisahkan Ratu Kidul saat mendengarnya,” paparnya.

Menurut Eko, hal itu memang menggambarkan bahwa jalur subduksi Selatan Jawa dapat menghasilkan gempa tsunami raksasa. Dengan memberi pemahaman sains, maka masyarakat akan merekamnya dalam wujud warisan budaya benda dan tak benda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com