SOLO, KOMPAS.com– Kajian mengenai potensi tsunami 20 meter di Selatan Jawa yang dilakukan oleh peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) masih jadi pembicaraan hangat untuk sebagian masyarakat.
Sayangnya, kajian yang seharusnya dapat membuat masyarakat menjadi lebih waspada dan sigap itu justru direspons dengan kecemasan.
Baca juga: BMKG: Potensi Tsunami 20 Meter untuk Dorong Mitigasi, Bukan Picu Kepanikan
Merespons hal itu, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Geografi Universitas Sebelas Maret (UNS) menggelar webinar yang mengupas pentingnya mitigasi bencana, Sabtu (7/11/2020). Hal ini dilakukan sebagai upaya mengedukasi masyarakat agar tidak lagi panik dengan hasil kajian sebelumnya.
Dosen Pendidikan Geografi UNS Setya Nugraha memaparkan dalam webinar itu bahwa mitigasi bencana dibagi menjadi tiga jenis. Seluruhnya harus menjadi pengetahuan masyarakat.
"Pertama, perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yg berdasarkan pada analisis risiko bencana. Kedua, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan. Lalu ketiga, penyelenggaraan pelatihan, penyuluhan modern atau mitigasi struktural," ujarnya dalam webinar bertajuk 'Enigma Potensi Megathrust Tsunami di Pesisir Selatan Pulau Jawa serta Upaya Mitigasinya'.
Setya menilai, dari ketiga jenis mitigasi tersebut, cara yang paling tepat dan mudah diterima masyarakat adalah mitigasi nonstruktural.
Baca juga: Masyarakat Diminta Ikut Turun Tangan untuk Lakukan Mitigasi Bencana
Sebagai informasi, mitigasi nonstruktural adalah upaya dalam mengurangi risiko bencana dengan cara memodifikasi perilaku manusia atau proses alam tanpa memerlukan struktur teknis.
“Dengan menggunakan cara tersebut, maka masyarakat akan sadar dan lebih siap (jika ada bencana). (Hal ini) mengingat lokasi Indonesia yang memang berada di daerah rawan bencana,” tuturnya.
Adapun edukasi mengenai mitigasi bencana itu, kata Setya, sudah harus dimulai pelatihannya untuk masyarakat dari usia dini. Misalnya, dimulai dari penyelenggaraan pelatihan pada pelajar.
Tujuannya adalah menanamkan insting bahwa mitigasi bencana ini merupakan hal yang perlu.
“Dengan begitu, masyarakat tahu dan sadar bahwa Indonesia memang berada di lokasi yang rawan terjadi bencana alam termasuk tsunami (sejak dia masih menjadi pelajar),” ujarnya.
Informasi lain yang juga dipaparkan oleh Setya dalam kesempatan itu adalah kesiapan menghadapi bencana dengan skema mitigasi 20-20-20 yang dikembangan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Baca juga: BMKG: Skema Mitigasi 20-20-20 Masih Relevan untuk Mitigasi Tsunami Selatan Jawa
"Menggunakan rumus 'Serba 20' tersebut, masyarakat diimbau untuk waspada jika gempa bumi berlangsung di pesisir lebih dari 20 detik atau lebih," ujarnya.
Kemudian, jika gempa itu terjadi, masih ada 20 menit bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri.
“Jika sudah, masyarakat diimbau untuk mencapai tempat yang lebih tinggi 20 meter dari wilayah terendah pantai,” jelas Setya Nugraha.
Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Penelitian (Puslit) Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan, pentingnya para praktisi untuk terus mengedukasi masyarakat melalui komunikasi sains yang sederhana. Misalnya, mengaitkannya dengan budaya yang telah mengakar di masyarakat semata-mata agar tidak terjadi disinformasi.
“Cara ini dipakai agar informasinya lebih mudah diterima masyarakat,” tutur Eko.
Masyarakat di Indonesia, bagi Eko memang beragam. Ada hal-hal yang masih menjadi kepercayaan dan membudaya, seperti beberapa daerah yang masih mengkaitkan gempa besar dan tsunami dengan Poseidon dan Dewa yang ada di laut.
Baca juga: Lagu Pelangi sampai Legenda Nyi Roro Kidul demi Mitigasi Bencana
Pola komunikasi sains akan menjadi dasar sebagai penguat legenda yang beredar di masyakat. Dengan begitu, masyarakat akan memiliki pemahaman yang benar. Mereka juga akan merasa budaya yang dipercayainya memang punya bukti nyata.
“Contohnya, bencana tsunami yang digambarkan dalam serat Sri Nata dalam Babad Tanah Jawi,” sambungnya.
Eko menjelaskan, terjadinya gempa di pantai selatan Jawa telah digambarkan melalui syair sebuah tembang atau lagu dalam babad tersebut. Hal itu memang sudah dipercaya masyarakat juga.
“Toya minggah ngawiyat .Apan kadya amor mina toyanipun. Semana datan winarna Ratu kidul duk miyarsi. Artinya, air naik ke angkasa. Bahkan, seperti bercampur dengan ikan airnya. Pada saat itu tidak dikisahkan Ratu Kidul saat mendengarnya,” paparnya.
Menurut Eko, hal itu memang menggambarkan bahwa jalur subduksi Selatan Jawa dapat menghasilkan gempa tsunami raksasa. Dengan memberi pemahaman sains, maka masyarakat akan merekamnya dalam wujud warisan budaya benda dan tak benda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.