JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebut, salah ketik di Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan persoalan serius.
Pemerintah dan DPR tak bisa begitu saja memperbaiki kesalahan pengetikan tersebut tanpa melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Tidak bisa seperti itu. Ini kan pembuatan UU yang tata caranya sudah ditentukan oleh konstitusi Pasal 22 A yang didelegasikan kepada UU khusus yaitu UU 12 Tahun 2011 juncto UU 15 Tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Feri kepada Kompas.com, Rabu (4/11/2020).
Baca juga: Soal Salah Ketik di UU Cipta Kerja, Setneg Sebut Itu Pelajaran Berharga
"Kalau sudah selesai pengundangan, tidak ada lagi utak-atiknya itu sebenarnya," tuturnya.
Feri mengatakan, jika kesalahan pengetikannya hanya terjadi di satu atau dua huruf saja (typo), masih memungkinkan bagi pemerintah dan DPR melakukan kesepakatan perbaikan, kemudian mencatatkan hasil dari perbaikan tersebut ke dalam Lembaran Negara.
Namun demikian, jika kesalahan yang terjadi perihal mengaitkan satu pasal dengan yang lain seperti yang terjadi pada UU Cipta Kerja, mekanisme kesepakatan perbaikan itu tidak dapat dilakukan.
Sebab, kesalahan ini bertentangan dengan asas kecermatan dan bisa menimbulkan kesalahan interpretasi.
Oleh karenanya, untuk menyelesaikan persoalan ini, kata Feri, setidaknya ada tiga mekanisme yang bisa ditempuh. Pertama, executive review melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
"Kalau Perppu yang berupaya mengoreksi pasal yang salah itu ya tentu bisa saja, tapi kan untuk sekelas Perppu masa cuma memperbaiki satu pasal, perbaiki juga lah masalah yang lebih besar di UU itu," ujar Feri.
Mekanisme kedua yakni legislative review. Langkah ini ditempuh oleh lembaga legislatif, dalam hal ini DPR, dengan mencabut UU Cipta Kerja atau menerbitkan undang-undang yang membatalkan berlakunya UU tersebut.
Ketiga, judicial review melalui lembaga peradilan baik Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menurut Feri, sejumlah kesalahan yang terjadi dalam pembentukan UU Cipta Kerja dapat dijadikan alasan yang kuat untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Oleh PTUN, UU ini berpotensi dinyatakan batal demi hukum lantaran pembentukannya cacat prosedur.
"Kalau kemudian Mensesneg dan DPR melakukan perbaikan dengan kesepakatan tanpa prosedur yang jelas bukan tidak mungkin itu menambah alasan untuk menggugatnya ke Peradilan Tata Usaha Negara atau ke MK," kata Feri.
Feri menambahkan, beberapa tahun lalu MK pernah membatalkan UU Pemda karena kesalahan yang serupa dengan yang ada di UU Cipta Kerja, yakni perihal pengaitan satu pasal dengan yang lain. Hal ini juga bisa terjadi di UU Cipta Kerja jika digugat di MK.
"Jadi enggak ada mekanisme selain itu yang menurut saya bisa dilakukan pemerintah dan seenak diri mereka sendiri untuk mengubah sesuatu yang sdh disepakati dan diberitakan dalam Lembaran Negara," tandasnya.
Baca juga: Di Sidang MK, Federasi Serikat Pekerja Sebut Pasal di UU Cipta Kerja Berpotensi Rugikan Buruh