JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono mengatakan, pemerintah harus sungguh-sungguh memberantas korupsi di sektor pelayanan pertanahan. Sebab, selama ini korupsi merupakan penghambat utama dalam menarik investasi di Indonesia.
"Ada atau tidak UU Cipta Kerja, pelayanan publik seharusnya profesional, bersih dan bertanggungjawab. Upaya untuk menarik investasi melalui UU Cipta Kerja harus disikapi dengan tekad menghilangkan korupsi dalam pelayanan pertanahan, karena merupakan penghambat investasi yang utama," ujar Maria dalam webinar bertajuk Potensi Korupsi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Kluster Tambang, Tanah, dan Lingkungan, Rabu (4/11/2020).
Baca juga: Soal UU Cipta Kerja, Guru Besar Hukum Agraria UGM Ingatkan Potensi Korupsi di Bidang Pertanahan
Ia mencontohkan, saat ini pemerintah sudah berupaya mencegah korupsi dengan membuat sistem pelayanan pertanahan secara elektronik.
Adapun pelayanan pertanahan elektronik ini terkait pengecekan keaslian sertifikat, informasi tentang persyaratan, jangka waktu dan biaya pendaftaran tanah, informasi tentang RDTR, Zona Nilai Tanah (ZNT), SKPT, dan hak tanggungan.
Upaya tersebut, lanjut dia, perlu diapresiasi karena menghemat waktu dan menghindari tatap muka dengan petugas yang berpotensi menimbulkan korupsi.
Kendati demikian, ia khawatir korupsi masih muncul dalam pelayanan yang belum dilakukan secara digital, yakni pelayanan pendaftaran tanah atau permohonan hak atas tanah.
"Saat kita melakukan permohonan hak atas tanah, justru pada pendaftaran pertama kali, itu tidak bisa kemudian jadi elektronik. Prosesnya masih harus menemui orang dan justru yang rawan itu di situ," tutur dia.
Baca juga: Guru Besar FH UGM Sebut Pelayanan Pertanahan Rawan Korupsi, Ini Modusnya
Ia menjelaskan, proses pendaftaran pertama kali tidak bisa dilakukan secara elektronik. Setiap orang harus bertemu, misalnya untuk mengukur tanah.
Tahapan yang memerlukan tatap muka itu juga tercantum dalam ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
"Hasil kegiatan setiap proses memang dapat didigitalisasi, tetapi prosesnya sendiri masih memerlukan tatap muka dengan petugas. Justru pada titik inilah kerawanan itu bisa terjadi," ucap Maria.
Baca juga: Guru Besar FH UGM: Klaster Pertanahan dalam UU Cipta Kerja Bermasalah Sejak Dibentuk
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.