Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.
Sedangkan, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas.
Baca juga: UU Cipta Kerja Berlaku, Semua Jenis Pekerjaan Terancam Sistem Outsourcing
Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain. Hal ini sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011.
Sementara, peralihan hubungan kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja.
Alhasil, peluang agar hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil.
3. Jam lembur semakin eksploitatif
Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.
Baca juga: Buruh Resmi Ajukan Judicial Review UU Cipta Kerja ke MK
Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding.
Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
4. Berkurangnya hak istirahat dan cuti
Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan.
Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan.
Baca juga: Kajian Amnesty Terkait RUU Cipta Kerja: Hilangnya Hak Cuti Berbayar hingga Turunnya Upah
Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.
5. Terkikisnya peran gubernur