Mengapa narapidana melarikan diri? Bila mengacu pada tulisan Richard Culp (2005), pelarian narapidana sebenarnya mengindikasikan dua hal. Pertama, sulit dan terbatasnya kemampuan untuk memprediksi perilaku manusia.
Dalam prosedur baku penahanan dan pemenjaraan di dunia, setiap perlakuan terhadap narapidana harus selalu didasarkan pada asesmen terhadap kebutuhan (need) dan risiko (risk).
Need Assessment akan menentukan model pembinaan, sedangkan risk assessment akan menentukan bentuk dan level pengamanan. Namun demikian, ketika asesmen risiko dilakukan dan memperlihatkan level tertentu, kondisi di lapangan bisa terjadi sebaliknya.
Banyak di antara narapidana yang awalnya diperkirakan tidak terlalu berbahaya justru menjadi pemicu masalah kekerasan di dalam penjara.
Demikian pula halnya dengan narapidana yang diperkirakan tidak akan melarikan diri, kenyataannya justru terbalik.
Dalam kasus Cai Changpan, pada saat pertama kali masuk ke dalam Lapas, sudah seharusnya dikumpulkan informasi mengenai aspek risiko, seperti, apa tipologi kejahatan yang dilakukannya, apakah memiliki pengalaman melakukan kekerasan terhadap orang lain atau terhadap diri sendiri, hingga pengalaman menyerang petugas dan melarikan diri.
Faktanya, pada tahun 2017 ia pernah melarikan diri dari tahanan kepolisian. Semestinya ini menjadi dasar bagi pembedaan level pengamanan.
Terlepas dari adanya keterbatasan dari kemampuan prediksi sebagaimana disebutkan, pertanyaannya, apakah pada saat masuk ke lapas, Cai Changpan telah dimasukkan ke dalam kategori narapidana risiko tinggi dari sisi keamanan?
Kedua, menurut Culp, pelarian narapidana mengindikasikan selalu adanya kelemahan di dalam teknologi pemenjaraan.
Teknologi di sini tidak hanya berarti mekanik dan digital, namun juga berkaitan dengan manajemen pemenjaraan secara umum, seperti prosedur tetap pembinaan dan pengamanan narapidana.
Baca juga: Fakta-fakta Pelarian Cai Changpan, Sebulan Hidup di Hutan hingga Berakhir Bunuh Diri
Ini juga bisa disebut sebagai faktor situasional dalam pelarian, karena teknologi ini tentu akan berbeda-beda di setiap penjara, termasuk perbedaan dalam penerapannya.
Status sebagai Lapas Klas 1, sudah semestinya Lapas Tangerang memiliki teknologi pengamanan yang jauh lebih ketat.
Namun, secanggih apapun teknologi selalu memiliki kelemahan.
Dalam kasus Cai Changpan, terlihat adanya celah tertentu yang dimanfaatkan sebagai sarana melarikan diri, dengan segenap upaya yang dilakukannya untuk menggali terowongan sempit di bawah lantai penjara.
Selain adanya kemungkinan telah dipelajarinya aktivitas rutin dari penjagaan, sehingga aksi menggali hanya dilakukan pada jam-jam tertentu.