JAKARTA, KOMPAS.com – Federasi Serikat Guru Indonesia ( FSGI) menyoroti kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud) guna menyaiasati pendidikan di masa pandemi Covid-19.
Berdasarkan pemantauan FSGI pada pelaksanaan PJJ Fase pertama yang berlangsung dari Maret hingga Juni 2020, peserta didik cenderung mampu mengatasi tekanan psikologis. Sebab, sebelumnya pembelajaran tatap muka (PTM) sempat dilakukan selama 9 bulan.
Selain itu, guru mata pelajaran, wali kelas, dan teman-teman satu kelasnya masih sama dan mereka sudah sempat komunikasi aktif sebelumnya, sehingga sudah saling mengenal dan bisa saling membantu.
“Hasil pemantauan pada PJJ Fase kedua, anak-anak lebih sulit mengatasi permasalahan psikologis, sehingga berpengaruh pada kesehatan mental seorang anak atau remaja,” ujar Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti dalam keterangan tertulis, Minggu (1/11/2020).
Baca juga: FSGI Ungkap Alasan Beri Nilai 55 untuk Program PJJ Nadiem Makarim
“Karena pada fase kedua ini, anak naik kelas dengan situasi yang berubah, wali kelasnya ganti, guru mata pelajarannya berbeda, dan kemungkinan besar kawan—kawan sekelasnya juga berbeda dari kelas sebelumnya,” lanjut dia.
Retno mengatakan, pergantian kelas dengan suasana yang baru tanpa tatap muka, membuat peserta didik sulit memiliki teman dekat untuk saling berbagi ataupun bertanya.
Akibatnya, kesulitan pembelajaran yang dialami, ditanggung sendiri oleh peserta didik jika dia tidak berani bertanya kepada guru atau temannya. Hal ini, tidak dapat dipungkiri juga berdampak kepada aspek psikososial dari peserta didik.
Baca juga: Kemenag Salurkan Anggaran PJJ Rp 1,178 Triliun
“Di antaranya adalah perasaan bosan karena harus tinggal di rumah, khawatir tertinggal pelajaran, timbul perasaan tidak aman, merasa takut karena terkena penyakit, merindukan teman-teman, dan khawatir tentang penghasilan orangtua,” papar Retno.
Menurut Retno, orangtua juga bisa menjadi penguat sekaligus bisa menjadi sumber masalah bagi anak.
Sumber masalah yang dimaksud yakni terjadi kekerasan secara emosional karena tidak memiliki kesabaran saat mendampingi anak belajar. Diantaranya kekerasan verbal misalnya merendahkan kemampuan anak dalam belajar.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan