JAKARTA, KOMPAS.com -Pengamat politik dari Universitas Paramadina Arif Susanto menyebut praktik politik dinasti cendrung mengalami peningkatan jumlah setiap penyelenggaraan pilkada.
"Dalam tiga pilkada terakhir ada kecenderungan (politik dinasti) meningkat. Sekarang saja ada 124 kandidat terafiliasi dengan elite tertentu yang sedang menjabat, apakah di daerah atau di pusat," kata Arif dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (28/10/2020).
Mengutip riset Nagara Institute, Arif merinci 124 kandidat itu terdiri dari 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota, serta 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur.
Baca juga: Satu Tahun Jokowi-Maruf: Kritik atas Munculnya Politik Dinasti
Arif mengatakan, jumlah kandidat yang berkaitan dengan politik dinasti terus meningkat karena ada kans menang yang besar.
"Hubungan kerabat dengan elite politik dinilai sebagai modal ampuh memenangkan kontestasi," kata dia.
Mengutip catatan peneliti Yoes Kenawas, ada 202 calon yang terkait dinasti politik pada pilkada 2015, 2017, dan 2018. Sebanyak 117 di antaranya keluar sebagai pemenang.
Arif mengatakan, setiap kerabat para pejabat memang mempunyai hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu.
Ia juga tak sepakat jika hak politik mereka dicabut. Namun Arif menegaskan, publik harusnya lebih memahami bahaya dari dinasti politik.
"Yang perlu kita lihat adalah pemusatan kekuasaan di tangan jaringan patronase elite yang kemudian terkait fenomena korupsi," ujarnya.
Baca juga: Riset Nagara Institute: 124 Calon Kepala Daerah pada Pilkada 2020 Terkait Dinasti Politik
Dia memberi sejumlah contoh politik kekerabatan berujung korupsi. Misalnya, kasus suap proyek infrastruktur di Kutai Kartanegara pada Juli lalu. KPK menangkap Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria yang merupakan suami-istri.
Uang suap miliaran rupiah diduga akan digunakan untuk pemenangan Ismunandar di pilkada kali ini.
Lalu, ada kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kendari tahun 2017-2018. Kasus itu menyeret Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun. Keduanya punya hubungan anak-ayah.
"Para kepala daerah seolah menjadi raja-raja kecil di banyak daerah yang mengekstraksi sumber-sumber keuangan daerah," ujarnya.
Baca juga: Bawaslu Sebut Dinasti Politik Berpotensi Langgar Aturan Politik
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.