JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Dompu, Lampung Selatan, dan Bengkulu memudahkan mantan terpidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada.
Sebab, Bawaslu di ketiga daerah itu mengabulkan gugatan tiga pasangan calon kepala daerah yang semula oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) akibat belum terpenuhinya masa jeda pidana 5 tahun, menjadi memenuhi syarat (MS).
"Putusan Bawaslu itu mempermudah seluruh mantan terpidana termasuk mantan terpidana korupsi yang belum genap jeda 5 tahun setelah selesai menjalani hukumannya untuk maju di Pilkada. Dan ini sangat disayangkan," kata Titi kepada Kompas.com, Selasa (27/10/2020).
Baca juga: Disorot, Bawaslu Daerah Loloskan Mantan Koruptor meski Belum Penuhi Masa Tunggu Pidana
Titi mengatakan, ketentuan tentang masa jeda 5 tahun bagi calon kepala daerah mantan terpidana tertuang dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019.
Putusan MK itu memaknai Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur tentang syarat pencalonan kepala daerah.
Ditegaskan MK bahwa seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah harus sudah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Namun demikian, kata Titi, Bawaslu kemudian menerjemahkan frasa "selesai menjalani pidana penjara" secara sempit sebagai keluar atau selesai menjalani hukuman badan di penjara.
Baca juga: Tindaklanjuti Putusan Bawaslu, KPU Tetapkan 3 Eks Koruptor jadi Calon Kepala Daerah
Padahal, berdasar penjelasan Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU Pilkada, yang dimaksud dengan “mantan terpidana” adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
"Bawaslu keliru memaknai selesai menjalani pidana penjara sebatas pada menjalani hukuman di dalam Lapas. Padahal maksudnya adalah menjalani jenis pidana pokok yaitu hukuman penjara yang dalam prosesnya seorang terpidana dalam rangkaian hukumannya tidak selalu ada di dalam Lapas namun bisa juga di luar Lapas apabila dia mendapatkan pembebasan bersyarat," ujar Titi.
"Namun saat ia bebas bersyarat tersebut statusnya tetap sebagai terpidana, belum menjadi mantan terpidana," tuturnya.
Baca juga: KPU Ikuti Putusan MK soal Pencalonan Eks Koruptor, tetapi...
Selain itu, menurut Titi, hal yang paling fatal adalah Bawaslu bertindak sebagai penguji materi Peraturan KPU dan undang-undang serta menjadi penafsir Putusan MK.
Seharusnya, dalam menangani gugatan sengketa pencalonan Bawaslu memeriksa apakah keputusan KPU sudah sesuai dengan UU dan Peraturan KPU atau belum.
Namun, yang terjadi malah Bawaslu menerabas UU dan Peraturan KPU dan berdiri sebagai penafsir Putusan MK.
Padahal dalam praktik kepemiluan, KPU yang punya kewenangan membuat peraturan teknis dalam penyelenggaraan pemilihan.
Baca juga: KPK: Pilih Calon Kepala Daerah yang Tak Pernah Terlibat Korupsi
"Jadi Bawaslu menggunakan proses penyelesaian sengketa pencalonan untuk memperluas kewenangannya sekaligus juga untuk melakukan uji materi atas Peraturan KPU. Menurut saya itu tidakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan hukum atau abuse of power," kata Titi.
"Saya meragukan komitmen Bawaslu dalam mewujudkan Pilkada bersih dan bebas dari calon-calon yang bermasalah," lanjutnga.
Pemahaman Bawaslu mengenai masa jeda pencalonan mantan terpidana ini juga dinilai mendistorsi substansi Putusan MK. Sebagai pemohon Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019, Titi pun merasa kecewa dengan sikap Bawaslu tersebut.
Titi mengungkap, di Pilkada Bengkulu Selatan dan Tebing Tinggi tahun 2010, MK memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS akibat calon yang tidak memenuhi syarat ditetapkan sebagai peserta pilkada.
Baca juga: Mayoritas Masyarakat Ingin Calon Kepala Daerah Pelanggar Protokol Kesehatan Didiskualifikasi
Ia pun khawatir hal serupa kelak akan terjadi di Pilkada Dompu, Lampung Selatan, dan Bengkulu.
"Dan itu bisa berdampak pada kerugian keuangan negara yang amat besar," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, KPU mengubah status tiga pasangan calon kepala daerah dari TMS menjadi MS sebagai peserta Pilkada 2020.
Langkah ini dilakukan menindaklanjuti putusan Bawaslu terkait hasil sengketa ketiga paslon yang masing-masing mencalonkan diri di Dompu, Lampung Selatan, dan Bengkulu.
Keputusan Bawaslu itu memerintahkan KPU untuk menyatakan 3 paslon yang semula TMS karena belum memenuhi masa jeda pidana 5 tahun diubah menjadi MS.
Baca juga: KPK: Salah Alamat Kalau Jadi Kepala Daerah untuk Cari Pendapatan Lebih Besar
"Putusan Bawaslu Dompu sudah ditindaklanjuti oleh KPU Dompu, dinyatakan MS sesuai 0utusan Bawaslu Dompu dan mendapat nomor urut 3," kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik kepada Kompas.com, Senin (26/10/2020).
"Demikian juga di Lampung Selatan. (Di Bengkulu) sudah," tuturnya.
Evi mengatakan, sebagaimana bunyi Undang-undang Pilkada, pihaknya wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu.
Pasal 135A Ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu provinsi dengan menerbitkan keputusan KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 3 hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu provinsi.
Baca juga: Kepala Daerah yang Gadaikan Kekuasaan ke Sponsor Berpotensi Punya Masalah Hukum
Meski begitu, kata Evi, dalam memaknai definisi "mantan narapidana", pihaknya tetap berpegang pada Pasal 1 angka 21 PKPU Nomor 18 Tahun 2019.
Pasal tersebut berbunyi, mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana, dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Mengacu pada bunyi pasal tersebut, kata Evi, jelas diatur bahwa seseorang dinyatakan sebagai mantan narapidana apabila sudah bebas murni, bukan bebas bersyarat.
Oleh karenanya, lanjut Evi, dalam membuat putusan semestinya Bawaslu mengacu pada PKPU tersebut, bukan membuat tafsiran baru.
"Mestinya tidak ditafsirkan lagi bila sudah dituangkan dalam PKPU. Bawaslu melakukan pemeriksaan dalam sengketa mestinya mengacu kepada PKPU sebagai peraturan yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah," tuturnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.