Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/10/2020, 07:14 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Gelombang aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja terjadi di berbagai tempat di Tanah Air sejak 6 Oktober 2020.

Sayangnya, sejumlah aksi berujung ricuh. Ada pula massa aksi yang terlibat bentrok dengan aparat keamanan.

Muncul pula dugaan adanya kekerasan yang dilakukan oleh aparat.

Dari pemberitaan Kompas.com, 9 Oktober 2020, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengaku menerima 1.500 aduan kekerasan aparat selama gelombang demonstrasi tolak UU Cipta Kerja di berbagai penjuru Indonesia.

Jurnalis peliput aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja juga menjadi korban kekerasan aparat dalam bentuk penangkapan, penganiayaan, serta perampasan alat kerja.

Baca juga: Polri: Kalau Demonstrasi Sudah Anarkis, Polisi akan Bertindak...

Ada pula tindakan berlebihan oleh aparat yang disoroti Koalisi Reformasi Sektor Keamanan. Salah satunya adalah yang terjadi di Kwitang, Pasar Senen, Jakarta Pusat, Selasa (13/10/2020).

Saat itu, anggota kepolisian menembakkan gas air mata pada warga saat tidak ada ancaman yang signifikan, sehingga dipertanyakan mengapa kekuatan itu dipergunakan.

Komite ini juga mencatat adanya pembatasan akses informasi dan upaya menghalangi akses bantuan hukum yang dilakukan oleh kepolisian.

Polisi Diminta Humanis

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta polisi tidak membawa peluru tajam dan mengedepankan sisi humanis saat mengawal aksi unjuk rasa.

Hal itu sehubungan dengan aksi demonstrasi terkait penolakan UU Cipta Kerja di sejumlah daerah.

"Kepada aparat kepolisian dan semua perangkat keamanan dan ketertiban diharapkan untuk memperlakukan semua pengunjuk rasa itu dengan humanis, jangan membawa peluru tajam," ujar Mahfud dikutip dari akun Youtube Kemenko Polhukam RI, Senin (19/10/2020).

Baca juga: Mahfud ke Polisi: Perlakukan Demonstran secara Humanis, Jangan Bawa Peluru Tajam!

Mahfud mengingatkan agar aparat keamanan dapat memperlakukan para pengunjuk rasa penuh dengan rasa persaudaraan sebagai sesama anak bangsa.

Tak hanya itu, MUI juga menyampaikan protes ke Presiden Joko Widodo soal kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap demonstran penolak UU Cipta Kerja.

"Kami sudah minta ke presiden agar Bapak Kapolri jangan seenaknya membiarkan anak buahnya melakukan tindak kekerasan pada pengunjuk rasa," kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi kepada Kompas.com, Senin (19/10/2020).

Muhyidin menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan aparat terhadap demonstran penolak UU Cipta Kerja di berbagai daerah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

"Itu kan menyalahi HAM. Mereka menyampaikan aspirasi dijamin konstitusi, kenapa ditembak, kenapa ditekan, kenapa dipersekusi, kami sampaikan juga semua itu," kata Muhyiddin.

Baca juga: Surati Kapolri, Ombudsman Minta Polri Tak Represif Saat Kawal Unjuk Rasa

Muhyiddin meminta ke depannya polisi bisa mengamankan unjuk rasa sesuai standar operasional yang berlaku. Bukan dengan cara-cara respresif.

"Sebagai anak bangsa kita tidak mau negara ini kacau, kita maunya damai. Tetapi masing-masing harus paham dan memposisikan dirinya sesuai konstitusi," kata dia.

Klaim Polisi

Setelah menjadi sorotan dan munculnya berbagai tuduhan kepada aparat kepolisian, Mabes Polri membantah telah bertindak represif dalam pengamanan aksi demonstrasi.

Demikian disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (26/10/2020).

"Terkait dengan proses, seperti pengamanan demo yang pernah saya sampaikan, jangan dibilang dibalik-balik, polisi represif, bukan. Kita bukan represif, polisi juga manusia," ucap Awi.

Baca juga: Mabes Polri: Kami Bukan Represif, Polisi Juga Manusia...

Menurutnya, polisi telah dibekali pendidikan tentang hak asasi manusia (HAM). Awi menambahkan, aparat juga diajarkan mengenai psikologi massa.

Untuk pelaksanaan di lapangan, polisi mengklaim telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) serta prosedur tetap (Protap) yang menjadi pedoman dalam mengamankan aksi unjuk rasa.

Aparat, katanya, bertindak sesuai eskalasi yang terjadi di lapangan.

"Kalau saat massa sudah anarki, tentunya pasti polisi akan melakukan tindakan-tindakan terukur," tutur dia.

"Mulai dari tangan kosong sampai menggunakan pentungan, tameng, bahkan menggunakan water cannon, tembakan gas air mata," sambung dia.

Bagaimana ke Depannya?

Gelombang aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja masih terus bergulir. Terbaru, kelompok serikat buruh berencana kembali menggelar aksi pada 2 November 2020.

Sebagai langkah antisipasi adanya aksi kekerasan oleh oknum aparat dalam pengamanan aksi mendatang, Awi mengungkapkan, polisi akan bertindak sesuai pedoman.

"Tentunya itu yang kita gunakan protap-protap itu. Untuk mengantisipasi, ya semua pihak tentunya kita juga bersama-sama Polri untuk membantu mengantisipasi, mengedukasi masyarakat," ungkap Awi.

Baca juga: Polri Bantah Semena-mena terhadap Masyarakat yang Beda Pendapat dengan Pemerintah

Pedoman yang dimaksud, yakni Protap Kapolri Nomor Protap/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarkis, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.

Menurutnya, polisi akan melakukan pengamanan dan tidak akan bertindak represif apabila aksi unjuk rasa berjalan damai.

Sebaliknya, jika aksi berubah anarkis, Awi memastikan pihaknya akan bertindak.

"Kalau demo sudah anarkis, pasti polisi akan bertindak karena memang negara ini tidak boleh kalah dengan preman, negara ini tidak boleh kalah dengan intoleransi," tutur dia.

Klaim Tindak Tegas

Bila langkah antisipasi telah dilakukan, Polri tak menutup mata masih adanya kasus pelanggaran yang terjadi.

Dugaan kasus tersebut nantinya akan diselidiki oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.

Awi mengklaim, pihaknya akan menindak tegas anggota yang melanggar.

"Kalau memang ada case, tentunya silakan. Kita tidak menutup mata. Ada Propam, kita akan melakukan penindakan secara tegas kalau memang ada anggota yang melanggar hukum," ucap Awi.

Ditahan dan hilang

Dari unjuk rasa Kamis (8/10/2020) dan Selasa (13/10/2020), polisi menahan 1.192 orang pada kericuhan pertama dan 1.377 orang pada kericuhan kedua.

Hasil pemeriksaan dan pendataan diketahui bahwa hampir 80 persen perusuh yang diamankan polisi berstatus pelajar. Mereka menyusup ke demo yang berjalan damai dan melakukan provokasi di penghujung aksi dengan melempari petugas kepolisian.

 

Baca juga: Kontras: Hingga Sore Ini, Ratusan Peserta Aksi Tolak UU Cipta Kerja Dinyatakan Hilang

Hingga kini, sudah ada beberapa orang yang menjadi tersangka.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat ratusan peserta demonstrasi menolak Undang-undang (UU) Cipta Kerja masih belum diketahui keberadaannya.

"Ada ratusan orang yang dinyatakan hilang dan masih banyak orang-orang yang ditahan di kepolisian, baik di Polres maupun di Polda Metro Jaya dan pendampingan hukumnya pun dipersulit," ujar Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, Jumat (9/10/2020).

Fatia mengatakan, massa aksi yang ditahan di kantor kepolisian saat ini tengah kesulitan mendapat pendampingan hukum.

Bahkan, pihak keluarga pun kesulitan untuk menemui mereka. Tak hanya itu, kata Fatia, Kontras juga masih kesulitan mendata nama-nama massa aksi yang ditahan aparat keamanan.

"Kita saja sekarang kesulitan siapa saja nama-nama yang ada di dalam karena tidak diberikan akses oleh pihak kepolisian," kata dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Bareskrim Akan Periksa Lagi Nindy Ayunda Terkait Kasus Kepemilikan Senpi Ilegal Dito Mahendra

Bareskrim Akan Periksa Lagi Nindy Ayunda Terkait Kasus Kepemilikan Senpi Ilegal Dito Mahendra

Nasional
Menpan-RB Bertemu Pejabat Pemerintah Estonia, Bahas soal Pelayanan Publik Digital

Menpan-RB Bertemu Pejabat Pemerintah Estonia, Bahas soal Pelayanan Publik Digital

Nasional
Jokowi Cawe-cawe Pemilu tetapi Janji Hormati Pilihan Rakyat

Jokowi Cawe-cawe Pemilu tetapi Janji Hormati Pilihan Rakyat

Nasional
PDI-P Pertanyakan Dasar Pernyataan Denny Indrayana soal Putusan Sistem Pemilu

PDI-P Pertanyakan Dasar Pernyataan Denny Indrayana soal Putusan Sistem Pemilu

Nasional
KPK Duga Windy Idol Terima Uang Terkait Jual Beli Perkara di MA

KPK Duga Windy Idol Terima Uang Terkait Jual Beli Perkara di MA

Nasional
Ratusan Relawan Dukung Bobby Nasution Jadi Gubernur Sumut

Ratusan Relawan Dukung Bobby Nasution Jadi Gubernur Sumut

Nasional
KPU Hapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye untuk Pemilu 2024

KPU Hapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye untuk Pemilu 2024

Nasional
Penjelasan Istana soal Cawe-cawe yang Dimaksud Presiden Jokowi

Penjelasan Istana soal Cawe-cawe yang Dimaksud Presiden Jokowi

Nasional
Tunggu Putusan Resmi MK soal Sistem Pemilu, Ketua KPU: Yang Sekarang Infonya Benar atau Tidak, 'Wallahualam'...

Tunggu Putusan Resmi MK soal Sistem Pemilu, Ketua KPU: Yang Sekarang Infonya Benar atau Tidak, "Wallahualam"...

Nasional
PDI-P Siapkan 10 Nama Cawapres untuk Ganjar Pranowo, PPP Usul 2 Nama

PDI-P Siapkan 10 Nama Cawapres untuk Ganjar Pranowo, PPP Usul 2 Nama

Nasional
Pemerintah Segera Luncurkan Golden Visa untuk WNA Bertalenta

Pemerintah Segera Luncurkan Golden Visa untuk WNA Bertalenta

Nasional
Mahfud MD: 'Flexing' Tak Langgar Hukum, tetapi Langgar Moral

Mahfud MD: "Flexing" Tak Langgar Hukum, tetapi Langgar Moral

Nasional
[POPULER NASIONAL] Mahfud Minta Polisi Usut Kebocoran Putusan MK | SBY Sebut Ada yang Ingin Demokrat Gagal Pemilu

[POPULER NASIONAL] Mahfud Minta Polisi Usut Kebocoran Putusan MK | SBY Sebut Ada yang Ingin Demokrat Gagal Pemilu

Nasional
KPU Optimistis MA Tolak Kasasi Prima soal Penundaan Pemilu

KPU Optimistis MA Tolak Kasasi Prima soal Penundaan Pemilu

Nasional
Memperkuat 'Party-ID' Lewat Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

Memperkuat "Party-ID" Lewat Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com