Menurut Evi, hal ini KPU lakukan lantaran Undang-undang Pilkada mewajibkan KPU menindaklanjuti putusan Bawaslu.
Baca juga: Mendagri Tito Sebut MK Ambil Jalan Tengah Terkait Putusan Pencalonan Eks Koruptor
Pasal 135A Ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu provinsi dengan menerbitkan keputusan KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 3 hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu provinsi.
"Itu sudah putusan Bawaslu, wajib dilaksanakan," kata Ilham Saputra.
Sebelumnya diberitakan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan mantan narapidana kasus korupsi dalam Pilkada 2020.
Padahal, KPU telah menyatakan paslon di dua daerah tersebut tidak memenuhi syarat (TMS) karena belum memenuhi masa jeda pidana.
“Permasalahannya putusan KPU yang membatalkan pencalonan mereka dibatalkan oleh Bawaslu sehingga mereka bisa kembali mencalonkan diri dalam kontestasi pilkada di daerahnya masing-masing,” kata peneliti ICW Egi Primayogha dalam diskusi daring, Minggu (25/10/2020).
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai putusan Bawaslu tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam menjalankan putusan MK terkait masa tunggu pidana.
Baca juga: Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada, Johan Budi: Sudah Cacat Moral, Harusnya Dilarang
Fadil mencontohkan, pertimbangan Bawaslu Dompu dalam putusannya yang menyebut bahwa masa tunggu dimulai ketika terpidana keluar dari lapas. Padahal, katanya, tak semua terpidana yang keluar dari lapas otomatis berstatus mantan terpidana.
Menurut Fadil, mantan terpidana adalah orang yang telah menjalani hukuman sesuai putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Orang yang berstatus mantan terpidana itu adalah orang yang sudah betul-betul selesai menjalani hukuman pidana berdasarkan putusan pengadilan yang kekuatan hukum tetap dan tidak lagi memiliki kewajiban hukum yang berkaitan dengan status pidananya karena kesalahan yang dia lakukan,” ucap Fadil dalam kesempatan yang sama.
Adapun Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya menetapkan 7 bakal pasangan calon kepala daerah TMS sebagai peserta Pilkada 2020. Dari 7 bakal paslon itu, 4 bapaslon TMS karena alasan belum terpenuhinya masa jeda pidana.
Sebagaimana bunyi Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019, mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Baca juga: Ironi Wahyu Setiawan: Ngotot Larang Eks Koruptor Ikut Pilkada, Sekarang Jadi Tersangka Suap
Bakal paslon gubernur dan wakil gubernur Bengkulu, Agusrin Maryono-Imron Rosyadi, dinyatakan TMS karena Agusrin merupakan mantan terpidana dengan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun. Pada saat mendaftar sebagai peserta Pilkada, Agusrin belum genap 5 tahun selesai menjalani pidana.
Alasan serupa juga menyebabkan bakal paslon bupati dan wakil bupati Nias Utara, Fonaha Zega-Emanuel Zebua, dinyatakan TMS. Diketahui, Fonaha belum melewati jeda 5 tahun sejak selesai menjalani masa pidananya.
Hal yang sama juga terjadi pada bapaslon bupati dan wakil bupati Lampung Selatan, Hipni-Melin Haryani Wijaya. Dalam hal ini, Melin Haryani merupakan mantan terpidana yang belum melewati jeda 5 tahun sejak selesai menjalani hukumannya.
Alasan serupa juga menyebabkan bapaslon bupati dan wakil bupati Dompu, Syaifurrahman Salman-Ika Rizky Veryani TMS.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.