"Intinya pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," katanya.
Dini mengakui sesudah UU disahkan dalam rapat paripurna, tak boleh lagi ada perubahan substansi. Namun, Dini menegaskan penghapusan pasal itu bukan berarti mengubah substansi dalam UU Cipta Kerja.
"Dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif atau typo, dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR," kata dia.
Baca juga: Hapus Satu Pasal di Naskah UU Cipta Kerja, Istana: Tak Ubah Substansi
Dini memastikan selain penghapusan pasal tersebut, tak ada pasal lain yang dihapus, direvisi, atau ditambahkan.
Perubahan sisanya berupa hal teknis seperti perbaikan salah ketik, perubahan format tulisan, dan perubahan format kertas, sehingga membuat naskah UU itu bertambah menjadi 1187 halaman.
Namun, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai Istana telah melanggar aturan dengan menghapus pasal di naskah final UU Cipta Kerja.
Feri mengacu pada pasal 72 dalam UU 15/2019.
Baca juga: Draf UU Cipta Kerja Berubah Jadi 1.187 Halaman, Ada Penghapusan Pasal
Di sana disebutkan, DPR mempunyai waktu tujuh hari untuk menyerahkan RUU yang telah disetujui bersama ke Presiden.
Waktu tujuh hari tersebut adalah untuk mempersiapkan hal teknis penulisan RUU ke lembaran resmi.
Artinya, kata Feri, perbaikan UU setelah pengesahan pada rapat paripurna hanya boleh dilakukan sebatas memperbaiki kesalahan pengetikan.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan