JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin sudah genap satu tahun pada 20 Oktober lalu. Banyak persoalan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah, termasuk soal kasus kekerasan terhadap perempuan dan kesetaraan gender.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti beberapa persoalan yang belum selesai dalam satu tahun ini. Komnas Perempuan juga menyesalkan dengan masih adanya kontradiksi kebijakan terkait perempuan yang dibuat pemerintah.
"Komnas Perempuan menyesalkan adanya kontradiksi dalam kebijakan, terutama melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang merupakan inisiatif dari pemerintah," kata Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad melalui keterangan tertulis, Kamis (22/10/2020).
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf, Komnas Perempuan Singgung Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu
Bahrul menilai, UU Cipta Kerja berpotensi mengurangi perlindungan hak perempuan pekerja, baik di dalam maupun luar negeri. Ditambah dengan adanya risiko dampak tidak proporsional yang ditanggung oleh perempuan disabilitas, termasuk yang menjadi disabilitas akibat kecelakaan kerja.
"Pengaturan di dalam UU Cipta Kerja juga dikhawatirkan dapat menyebabkan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan menjadi tidak efektif," ujar dia.
"Terutama terkait dengan kerentanan pada konflik sumber daya alam dan konflik agraria yang muncul akibat proyek pembangunan yang ambisius yang menghalangi partisipasi substantif warga," ucap Bahrul.
Sepanjang tahun 2020, Komnas Perempuan telah menerima tujuh laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan konflik sumber daya alam dan agraria.
Kasus tersebut berhadapan dengan kepentingan usaha atau kebijakan pembangunan.
Kendati demikian, Bahrul juga melihat ada kebijakan pemerintah yang berdampak positif, baik secara langsung atau tidak langsung pada penanganan dan pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga: Komnas Perempuan Rekomendasikan Pemerintah Koreksi UU Cipta Kerja
Kebijakan yang pertama adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2020 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Perpres ini, kata Bahrul, meneguhkan kewenangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk menyelenggarakan koordinasi pengada layanan terpadu di tingkat daerah dan menjadi rujukan akhir di tingkat nasional untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Selain membuka akses lebih luas bagi perempuan korban terorisme, PP ini menegaskan lingkup penyediaan pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan juga pada kasus kekerasan seksual melalui layanan yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca juga: Faktor Ekonomi, Pemicu Utama Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Kebijakan ketiga, yakni PP Nomor 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia Oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
"PP ini menyesuaikan dengan perintah UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang berupaya untuk mengatasi kerentanan pekerja migran Indonesia, terutama perempuan, dari eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan," tutur Bahrul.
Regulasi terakhir, PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan. Menurut Bahrul, PP ini penting untuk memperbesar peluang akses keadilan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan.
"PP ini dapat diperkuat dengan perhatian lebih khusus pada kerentanan perempuan disabilitas, terutama soal kekerasan seksual, sehingga memungkinkan adanya jaminan fasilitas tidak berbayar dalam hal pengumpulan bukti, seperti tes visum maupun DNA," kata dia.
Masalah kesetaraan gender
Meski sudah ada beberapa kebijakan yang memiliki perspektif perlindungan terhadap perempuan, Komnas Perempuan masih melihat ada implementasi kebijakan yang tidak menggunakan pendekatan kesetaraan gender.
"Komnas Perempuan juga mengamati bahwa implementasi kebijakan yang memuat pendekatan kesetaraan gender yang substantif masih menjadi persoalan," kata Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah melalui keterangan tertulis dalam website resmi Komnas Perempuan, Kamis (22/10/2020).
Baca juga: Komnas Perempuan Minta Pemerintah Segera Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu
Alimatul mengatakan, ketidaksetaraan gender itu tampak dari sejumlah kegiatan di tingkat kementerian yang mayoritas diisi laki-laki.
Hal itu terlihat dari minimnya jumlah perempuan dalam proses seleksi sejumlah lembaga independen oleh panitia seleksi, yang keanggotaan dari panitia tersebut ditunjuk Presiden.
"Juga, dalam lambannya penanganan pandemi Covid-19 dalam menyikapi kerentanan perempuan, seperti dalam hal kebijakan terkait layanan kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan, melahirkan, dan keluarga berencana," ujar Alimatul.
Ia menuturkan, kajian Komnas Perempuan mengenai dinamika keluarga di masa pandemi menunjukkan bahwa beban perempuan berlipat daripada laki-laki selama masa pandemi.
Baca juga: Ketika Perempuan Melawan Relasi Kuasa dan Patriarki Melalui Legislasi
Hal ini, lanjut Alimatul, berkaitan dengan relasi di dalam keluarga yang masih dipengaruhi budaya patriarki.
"Upaya mengoreksi konstruksi ini tampaknya masih kurang masif dan efektif, yang dilakukan melalui program di Kemen PPPA, bimbingan pranikah di Kementerian Agama dan integrasi pemahaman HAM dan gender dalam pendidikan nasional," ucap dia.
Alimatul mengatakan, hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan mengenai langkah afirmasi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan.
Pelanggaran HAM masa lalu
Alimatul juga menilai, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf belum menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, khususnya terkait perempuan.
Alimatul melihat masih ada masalah pelanggaran HAM di Indonesia yang belum diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Salah satunya terkait nasib para perempuan korban dalam pelanggaran HAM yang masih terkatung-katung.
Baca juga: Komnas Perempuan Sebut Gugatan Korban Pemerkosaan untuk Kapolri Jadi Bukti Diperlukannya RUU PKS
"Belum lagi, perihal kondisi perempuan korban pelanggaran HAM masa lalu yang terkesan terkatung-katung," ujar dia.
Alima pun mendesak pemerintahan Jokowi-Ma'ruf untuk segera menuntaskan masalah pelanggaran HAM masa lalu.
"Menyegerakan penuntasan persoalan pelanggaran HAM masa lalu, dengan perhatian khusus pada kerentanan dan kebutuhan pemulihan perempuan korban," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.