Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepala Daerah yang Gadaikan Kekuasaan ke Sponsor Berpotensi Punya Masalah Hukum

Kompas.com - 21/10/2020, 11:09 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Integritas calon kepala daerah dipertaruhkan setelah mereka terpilih di dalam kontestasi pilkada. Calon kepala daerah yang pada saat proses pemilihan dibiayai pencalonannya oleh pihak ketiga atau sponsor, memiliki kecenderungan untuk memenuhi keinginan sponsor yang telah membantunya.

Tren tersebut justru mengalami peningkatan dalam tiga penyelenggaraan pilkada serentak pada lima tahun terakhir. Hal itu diketahui berdasarkan survei Direktorat Penelitan dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada 2015, KPK menemukan calon kepala daerah yang bersedia memenuhi keinginan sponsor mencapai 75,8 persen. Sedangkan pada 2017 persentase itu naik menjadi 82,2 persen, dan kembali meningkat pada 2018 menjadi 83,8 persen.

Baca juga: Mendagri Sebut Tak Ada Toleransi bagi Pelanggar Aturan Pilkada

Praktik menggadaikan kekuasaan, kata Ketua KPK Firli Bahuri, berpotensi memunculkan praktik tindak pidana korupsi ketika kepala daerah yang telah dibantu itu, berkuasa.

“Alasan kepala daerah ini sudah menggadaikan kekuasaannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu sudah terjadi, sudah tentu akan terjadi praktik korupsi, dan tentu juga akan berhadapan dengan masalah hukum,” kata Firli saat Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020, Selasa (20/10/2020).

KPK mencatat, tak kurang dari 695 kasus korupsi terjadi di 26 provinsi sepanjang kurun 2004-2020. Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat pertama dengan jumlah kasus korupsi terbanyak yaitu 101 kasus. Disusul kemudian Jawa Timur (93 kasus), Sumatera Utara (73 kasus), Riau dan Kepulauan Riau (64 kasus), serta DKI Jakarta (61 kasus).

Baca juga: Pilkada Dinilai Tak Akan Sebabkan Penularan Covid-19 Selama Protokol Kesehatan Diterapkan Ketat

Bahkan pada 2018, ada 30 kepala daerah yang ditangkap Komisi Antikorupsi itu karena praktik rasuah.

“Bahkan 2018 itu tertinggi kasus korupsi yang tertangkap. Saya harus katakan itu, kasus korupsi tertinggi yang tertangkap karena bisa saja banyak yang belum tertangkap,” kata Firli seperti dilansir dari Antara.

Ongkos politik tinggi

Jenderal polisi bintang tiga itu mengungkapkan, tingginya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tidak terlepas dari biaya politik yang tinggi yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah saat kontestasi.

Dalam indept interview yang dilakukan KPK, Firli mengungkapkan, biaya kontestasi politik yang harus dikeluarkan pasangan calon kepala daerah beragam. Mulai dari Rp 5-10 miliar, bahkan ada yang menyebut hingga Rp 65 miliar. Itu, imbuh dia, hanya untuk pemilihan di level bupati/wali kota.

Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf: Pilkada Tetap Digelar di Tengah Pandemi Covid-19

Padahal, bila melihat laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang disampaikan pasangan calon kepala daerah ke KPK, rata-rata hanya Rp 18 miliar dan juga ada yang kurang dari itu.

“Dari hasil penelitian kita bahwa ada gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta calon. Bahkan dari LHKPN itu minus. Jadi, jauh sekali dari biaya yang dibutuhkan saat pilkada,” kata dia.

Hal itulah yang kemudian membuat calon kepala daerah bersedia menerima bantuan dari sponsor. Survei KPK menemukan, 82,3 persen pasangan calon kepala daerah mengakui bahwa mereka dibantu sponsor di dalam proses kontestasi tersebut.

Namun, bantuan yang diberikan bukanlah bantuan yang sifatnya cuma-cuma. Firli menyebut, ada kepentingan tertentu di balik pemberian bantuan dana yang diberikan kepada calon kepala daerah.

“Orang mau membantu karena ada tiga hal, satu adalah calon kepala daerah memiliki janji akan memenuhi permintaan dari pihak ketiga kalau menang,” kata dia.

Baca juga: Bentuk Relawan Demokrasi, KPU Target Partisipasi Pemilih Pilkada Samarinda 77,5 Persen

Oleh karena itu, Firli mengingatkan agar masyarakat memilih calon kepala daerah yang berintegritas pada pilkada mendatang. Menurut dia, kurangnya integritas menjadi salah satu pemicu terjadinya korupsi kepala daerah.

“Korupsi terjadi karena adanya kekuasaan, kesempatan dan kurangnya integritas,” kata Firli seperti dilansir dari Kompas.id.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com