JAKARTA, KOMPAS.com – Gelombang protes elemen masyarakat, mulai dari kelompok buruh, akademisi, mahasiswa, hingga aktivis mewarnai peringatan setahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Selasa (20/10/2020).
Disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada 5 Oktober lalu menjadi pemantik protes tersebut.
Namun sejak awal, pembahasan RUU ini memang telah memunculkan kegaduhan publik.
Baca juga: Setahun Jokowi-Ma’ruf, Peneliti LIPI Nilai Hanya Infrastruktur yang Tampak Hasilnya
Dalam tuntutannya, mahasiswa dan buruh meminta Presiden Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu untuk membatalkan seluruh isi UU Cipta Kerja. Sebab, UU ini dinilai banyak memuat aturan yang merugikan pekerja di Indonesia.
“Aliansi BEM SI menyatakan, akan kembali turun aksi untuk mendesak Presiden RI segera mencabut UU Cipta Kerja dan kami tetap menyampaikan mosi tidak percaya ke pemerintah dan wakil rakyat yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat,” kata Koordinator Pusat Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Remy Hastian dalam keterangan tertulis.
Baca juga: Hari Ini, 2.150 Demonstran Tolak UU Cipta Kerja Berhadapan dengan 10.000 Aparat di Jakarta
Tak hanya dengan turun ke jalan, ungkapan kekecewaan terhadap pemerintah dan DPR juga ramai diperbincangkan di jagat maya. Bahkan di Twitter, tagar #mositidakpercaya sempat menjadi trending topic pertama di Indonesia.
BEM Universitas Indonesia melalui akun Twitter resmi mereka, @BEMUI_Official bahkan terus mengabarkan secara langsung aksi penyampaian pendapat yang mereka lakukan bersama aliansi lainnya antara lain Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Federasi Pelajar Indonesia (FIJAR) dan Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI).
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf, Formappi: Parlemen Jadi Macan Ompong
Sejak pukul 12.00 WIB, akun Twitter tersebut telah mengunggah post terkait rencana pergerakan mereka. Tak hanya mengunggah twit, akun yang diikuti sekitar 65.800 followers itu juga mengunggah sejumlah foto dan video kegiatan mereka.
“LIVE REPORT [12.00 WIB] Massa aksi UI telah berkumpul di UI Salemba dan akan melakukan long march ke Patung Kuda Bundaran HI bersama dengan aliansi lainnya, yaitu FRI, Gebrak, FIJAR dan KRPI #MosiTidakPercaya #BatalkanOmnibusLaw #JegalSampaiBatal #HentikanRepresifitasAparat”.
LIVE REPORT
[12.00 WIB]
Massa aksi UI telah berkumpul di UI salemba dan akan melakukan long march ke Patung Kuda Bundaran HI bersama dengan aliansi lainnya, yaitu FRI, Gebrak, FIJAR dan KRPI.#MosiTidakPercaya#BatalkanOmnibusLaw#JegalSampaiBatal#HentikanRepresifitasAparat pic.twitter.com/zVQgCq5trs
— BEM UI (@BEMUI_Official) October 20, 2020
Baca juga: 5 Regulasi Kontroversial dalam Setahun Pemerintahan Jokowi-Maruf
“LIVE REPORT [17.40 WIB] Massa UI berangsur mundur ke titik evakuasi karena kondisi sudah mulai tidak kondusif diakibatkan polisi yang mulai membubarkan massa secara paksa. #MosiTidakPercaya #BatalkanOmnibusLaw #JegalSampaiBatal #HentikanRepresifitasAparat”.
LIVE REPORT
[17.40 WIB]
Massa UI berangsur mundur ke titik evakuasi karena kondisi sudah mulai tidak kondusif diakibatkan polisi yang mulai membubarkan massa secara paksa.#MosiTidakPercaya#BatalkanOmnibusLaw#JegalSampaiBatal#HentikanRepresifitasAparat pic.twitter.com/yMZOwsTKIH
— BEM UI (@BEMUI_Official) October 20, 2020
Cuitan dengan tagar yang sama juga disampaikan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia melalui akun Twitter resmi mereka yang telah terverifikasi atau centang biru, @YLBHI.
“Stop Anarkisme, Premanisme, dan Brutalitas yang dilakukan anggota Polri pada rakyat yang menyatakan pendapat dengan damai. #SikapCerdasStopBrutalitas #MosiTidakPercaya #BatalkanOmnibusLaw #WhatsHappeningInIndonesia”.
Stop Anarkisme, Premanisme, dan Brutalitas yang dilakukan anggota Polri pada rakyat yang menyatakan pendapat dengan damai.#SikapCerdasStopBrutalitas#MosiTidakPercaya #BatalkanOmnibuLaw #WhatsHappeningInIndonesia pic.twitter.com/8JinB8R3ND
— YayasanLBHIndonesia (@YLBHI) October 20, 2020
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta melalui akun @AJI_JAKARTA mengunggah gambar Presiden Jokowi yang tengah memegang enam buku bertuliskan UU PSDN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU KPK, UU MK, UU No 2 Tahun 2020, dan UU Minerba.
Baca juga: Setahun Pemerintahan Jokowi, Peneliti LIPI: Momentum Menguji Kabinet
Di dalam gambar tersebut terdapat tulisan “Jalan Menuju Kekuasaan Tanpa Batas Telah Terbentang, Selamat Datang Otoritarianisme”. Selain itu pada cuitan yang diunggah AJI Jakarta menuliskan “#CabutOmnibusLaw #MosiTidakPercaya”.
#CabutOmnibusLaw #MosiTidakPercaya pic.twitter.com/B6MOFNTXid
— AJI Jakarta (@AJI_JAKARTA) October 20, 2020
Bukan kali ini saja pemerintah mendapat kritik tajam dari publik. Usai terpilih kembali sebagai Presiden untuk periode kedua, Jokowi justru didemo oleh sejumlah elemen masyarakat, aktivis serta mahasiswa menjelang akhir periode pertama pemerintahannya.
Unjuk rasa dipicu oleh rencana disahkannya sejumlah rancangan undang-undang yang dianggap bermasalah, antara lain UU KPK hasil revisi, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Rancangan Undang-Undang Pertanahan, Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara, serta Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan.
Baca juga: Setahun Jokowi-Ma’ruf: Perkara Megakorupsi Jiwasraya dan Suntikan Modal Rp 22 Triliun
Pada 17 Oktober 2019, DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan revisi UU tersebut setelah sebelumnya dibahas dalam waktu singkat. Publik yang menolak pengesahan itu akhirnya turun ke jalan. Terlebih setelah muncul rencana agar RUU lainnya turut disahkan dalam waktu dekat.
Aksi unjuk rasa bertajuk “Reformasi Dikorupsi” akhirnya pecah di sejumlah wilayah Tanah Air. Kericuhan antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan yang bertugas menjaga keamanan tak dapat terbendung, setelah unjuk rasa selama beberapa hari berlangsung.
Tak hanya di jalanan, protes juga disampaikan masyarakat melalui media sosial. Tagar #ReformasiDikorupsi juga turut meramaikan jagat Twitter saat itu.
Baca juga: Terima 390 Aduan Kekerasan saat Aksi Reformasi Dikorupsi, Tim Advokasi Lapor ke Komnas HAM
Namun, Presiden bergeming, di tengah desakan berbagai pihak agar pengesahan UU KPK dibatalkan. Pada saat yang sama, Jokowi juga tak menandatangani naskah final UU KPK hasil revisi yang telah diserahkan DPR.
Meski demikian, untuk RUU lainnya Jokowi meminta agar DPR menunda rencana pengesahan tersebut dengan alasan masa jabatan Dewan untuk periode itu akan berakhir pada 30 September.
"Untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, mendapatkan substansi-substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat sehingga rancangan UU tersebut saya sampaikan, agar sebaiknya masuk ke nanti, DPR (periode) berikutnya," kata Presiden pada 23 September 2019.
Baca juga: Ketika Jokowi Berkali-kali Mengatakan Tanpa Beban di Periode Kedua...
Dalam unjuk rasa tersebut, Tim Advokasi untuk Demokrasi menerima setidaknya 390 aduan ihwal adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam penanganan aksi itu.
Seperti dilansir dari Kompas.id, pengacara dari LBH Jakarta Sutista Dirga yang tergabung dalam tim advokasi tersebut, mengungkap, secara umum kekerasan dilakukan pada saat penangkapan dan interogasi. Selain itu, juga ada intimidasi verbal.
Pengaduan tak hanya datang dari mahasiswa dan siswa, tetapi juga petugas medis, wartawan hingga keluarga korban.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf: Pendidikan Vokasi Dipacu Lebih Cepat
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai, Presiden Jokowi perlu mengubah cara dalam membangun komunikasi publik. Pasalnya, selama ini pemerintah terkesan abai dengan suara penolakan yang disampaikan masyarakat.
Memang, imbuh dia, Jokowi sedang mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang ekonomi dan investasi. Namun demikian, dalam proses mengejar ketertinggalan tersebut, pemerintah tetap harus membuka ruang dialog dengan publik, sehingga mereka merasa dilibatkan.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf Amin: Pengesahan 3 UU Kontroversial
“Setuju bahwa ekonomi penting, tapi mereka salah jalan, salah paradigma, dan salah kerja mereka (misalnya) membuat UU di bidang perekonomian. Jadi memakai jalan pintas,” kata Asep kepada Kompas.com, Selasa.
Menurut dia, apa yang dipertontonkan pemerintah dan DPR saat ini terkesan mengabaikan suara publik dalam membuat sebuah regulasi atau kebijakan.
Kondisi ini terjadi lantara mayoritas fraksi yang duduk di kursi parlemen berasal dari partai politik pendukung pemerintahan. Diketahui, hanya dua dari sembilan fraksi di DPR yang memposisikan diri mereka sebagai oposisi pemerintahan.
“Posisi DPR lemah. Jadi tidak ada kontrol efektif dari DPR sehingga lahir UU yang menuai polemik,” ucapnya.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf: Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara, Nasibmu Kini...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.