Unjuk rasa dipicu oleh rencana disahkannya sejumlah rancangan undang-undang yang dianggap bermasalah, antara lain UU KPK hasil revisi, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Rancangan Undang-Undang Pertanahan, Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara, serta Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan.
Baca juga: Setahun Jokowi-Ma’ruf: Perkara Megakorupsi Jiwasraya dan Suntikan Modal Rp 22 Triliun
Pada 17 Oktober 2019, DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan revisi UU tersebut setelah sebelumnya dibahas dalam waktu singkat. Publik yang menolak pengesahan itu akhirnya turun ke jalan. Terlebih setelah muncul rencana agar RUU lainnya turut disahkan dalam waktu dekat.
Aksi unjuk rasa bertajuk “Reformasi Dikorupsi” akhirnya pecah di sejumlah wilayah Tanah Air. Kericuhan antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan yang bertugas menjaga keamanan tak dapat terbendung, setelah unjuk rasa selama beberapa hari berlangsung.
Tak hanya di jalanan, protes juga disampaikan masyarakat melalui media sosial. Tagar #ReformasiDikorupsi juga turut meramaikan jagat Twitter saat itu.
Baca juga: Terima 390 Aduan Kekerasan saat Aksi Reformasi Dikorupsi, Tim Advokasi Lapor ke Komnas HAM
Namun, Presiden bergeming, di tengah desakan berbagai pihak agar pengesahan UU KPK dibatalkan. Pada saat yang sama, Jokowi juga tak menandatangani naskah final UU KPK hasil revisi yang telah diserahkan DPR.
Meski demikian, untuk RUU lainnya Jokowi meminta agar DPR menunda rencana pengesahan tersebut dengan alasan masa jabatan Dewan untuk periode itu akan berakhir pada 30 September.
"Untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, mendapatkan substansi-substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat sehingga rancangan UU tersebut saya sampaikan, agar sebaiknya masuk ke nanti, DPR (periode) berikutnya," kata Presiden pada 23 September 2019.
Baca juga: Ketika Jokowi Berkali-kali Mengatakan Tanpa Beban di Periode Kedua...
Dalam unjuk rasa tersebut, Tim Advokasi untuk Demokrasi menerima setidaknya 390 aduan ihwal adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam penanganan aksi itu.
Seperti dilansir dari Kompas.id, pengacara dari LBH Jakarta Sutista Dirga yang tergabung dalam tim advokasi tersebut, mengungkap, secara umum kekerasan dilakukan pada saat penangkapan dan interogasi. Selain itu, juga ada intimidasi verbal.
Pengaduan tak hanya datang dari mahasiswa dan siswa, tetapi juga petugas medis, wartawan hingga keluarga korban.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf: Pendidikan Vokasi Dipacu Lebih Cepat
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai, Presiden Jokowi perlu mengubah cara dalam membangun komunikasi publik. Pasalnya, selama ini pemerintah terkesan abai dengan suara penolakan yang disampaikan masyarakat.
Memang, imbuh dia, Jokowi sedang mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang ekonomi dan investasi. Namun demikian, dalam proses mengejar ketertinggalan tersebut, pemerintah tetap harus membuka ruang dialog dengan publik, sehingga mereka merasa dilibatkan.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf Amin: Pengesahan 3 UU Kontroversial
“Setuju bahwa ekonomi penting, tapi mereka salah jalan, salah paradigma, dan salah kerja mereka (misalnya) membuat UU di bidang perekonomian. Jadi memakai jalan pintas,” kata Asep kepada Kompas.com, Selasa.
Menurut dia, apa yang dipertontonkan pemerintah dan DPR saat ini terkesan mengabaikan suara publik dalam membuat sebuah regulasi atau kebijakan.
Kondisi ini terjadi lantara mayoritas fraksi yang duduk di kursi parlemen berasal dari partai politik pendukung pemerintahan. Diketahui, hanya dua dari sembilan fraksi di DPR yang memposisikan diri mereka sebagai oposisi pemerintahan.
“Posisi DPR lemah. Jadi tidak ada kontrol efektif dari DPR sehingga lahir UU yang menuai polemik,” ucapnya.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf: Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara, Nasibmu Kini...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.